Aku tiup lilin-lilin yang menerangi wajah cantikmu. Aku
bahagia karena tangga ini masih tetap mengikat kebersamaan kita dalam rupa
tangis dan tawa. Sepuluh tahun sudah berlalu dengan kamu sebagai teman hidup.
Durasi yang cukup lama untuk menghabiskan malam dengan menatap langit penuh
gemerlap bintang.
“Tak perlu bertanya apa harapanku, ya?” tanyaku lebih cepat
dari ekspresi wajahmu yang penasaran melihat bibirku komat-kamit. “Ada namamu serta
namaku bersanding dalam panjatku malam ini,” lanjutku.
“Iya.”
Wajahmu merona di bawah sinar purnama. Kamu tersipu dan
mengurai tangis bahagia. Tapi ada gelisah dalam hatiku ketika nama lelaki lain
tertera di ponselmu. Ini adalah hari ketujuh kulihat namanya di ponselmu. Aku pernah
bertanya siapa sosok itu, kamu hanya berdalih sanak saudara yang bahkan tak
sekali pun kau ceritakan. Aku tak pernah mengenalnya. Kamu memang pamit padaku
untuk menjawab panggilan itu dan aku mengiyakan dengan hati tersayat. Aku
terima.
“Tak terasa ya sudah dua belas tahun sejak pertemuan kita
pertama kali di pernikahan sepupuku waktu itu,” aku berusaha menepikan
kekalutan dalam hati. “Di sini, kita sering menghabiskan waktu. Mulai dari bermimpi
bahkan sampai sudah terwujud pun selalu kita lalui waktu di tangga ini sambil
menatap indah langit malam.”
“Iya. Taman ini, ah tidak. Tangga ini telah membuatku jatuh
cinta, Sayang. Itu sejak mata kita saling bertemu dan mengehentikan waktu
dengan degup penuh rasa dan pipi merona,” timpalmu. “Ingat saat kita bertengkar
hebat hanya karena aku diantar oleh senior kampus? Sampai wajahmu merah padam
dan tak mau bicara satu minggu,” kalimat itu menggantung, ada getir di sana. “Tangga
ini ada dan jadi saksi atas ragam kejadian, Sayang.”
Aku mengangguk pelan tanpa jawaban. Tawa sampai tangis
memang kita rekam di sini, tangga ini. Sepotong lapis Surabaya buatanmu
kuterima. Ada bahagia memang dalam hati, tapi tak bisa kusembunyikan luka
menganga atas nama lelaki tak dikenal dalam ponselmu.
“Maaf,” lirihku.
Tanpa perlawanan berarti tanganku berhasil membuatmu
terguling dari hadapanku sampai ke dasar. Tanganmu berusaha mengenali warna
darah dari kepala. Hening. Tapi tatapanmu berkata lain ada banyak pertanyaan di
sana.
“Kenapa, Mas?” pertanyaan itu terdengar sangat sedih.
“Maaf. Ini aku lakukan karena aku sangat mencintaimu. Tangga
ini harus menjadi saksi untuk terakhir kalinya.”
Aku tak kuasa. Luka karena mencintaimu membuatku seperti
ini. Aku mencintaimu, oleh karena itu aku takkan biarkan kamu pergi sendiri.
Aku melompat melawan gravitasi ke arah tubuhmu. Mata kita kembali bertemu,
mungkin ini untuk terakhir kali.
Suaramu kembali menggaung di telingaku, “kenapa, Mas?
Kenapa?”
. . .
“Mas, kenapa?”
Mataku terbuka, aku merasa kini sedang berada di surga bersamamu.
Aku bahagia kita bersama lagi. Tapi tunggu, kenapa kamu membawa lapis Surabaya masih
utuh? Bahkan tak ada merah darah mewarnai gaunmu.
“Mas, maaf membuatmu menunggu sampai tertidur di sini. Abang
tadi tersesat di komplek, maklum dari kampung,” jelasmu dengan sodoran sepotong
lapis Surabaya. “Kami satu ayah beda ibu dan abang sudah sendirian kini.”
“Syukurlah! Maaf aku menaruh curiga tentang lelaki yang
sering berbicara di telepon denganmu.”
“Mas jangan menyimpan prasangka, tangga ini saksi kesetiaanku
padamu. Happy anniversary.”
“I love you”
“Ada namamu serta namaku bersanding dalam panjatku malam ini,” lanjutku.<< Aww, so sweet bangeeeeeettt :3
ReplyDeleteAku melompat melawan gravitasi ke arah tubuhmu. Mata kita kembali bertemu, mungkin ini untuk terakhir kali. << Sedikit mikir di bagian ini entah kenapa. Ahah, mungkin terlalu lemot akunya :)) mungkin kalo melompat aja aku ga mikir, ditambah melawan gravitasi kok aku malah mikir ya, pemilihan kata nya nice :))mikir lagi mata kembali bertemu, lompatnya pas ke atas istrinya atau saling ngeliat ya? *jitak diri sendiri* :p
Dari awal jg udh penasaran itu tangga apa ya, dirumah? Tapi kok bs liat bintang dan kawan2nya. Mwihhihi
"Mas, maaf membuatmu menunggu sampai tertidur disini<< lalu ngakak, dibohongin ceritaaaaaaaa,,jatohnya tiputipuuuuuu :))
Bagus, idenya seger euy. :3
kan kalo melompat itu emang melawan gravitasi dan lebih tinggi. :D
Deletehihi. :)
sayang kalo pria seromantis itu harus melakukan niat jahat pada satu-satunya istri yang dia sayangi. ;)
Iya itu, aku harus menthabiskan stu sampe dua menit utk berfikir apa bedanya lompat biasa sm yg melawan gravitasi. Hhaha..
DeleteKesalahan ada di kecepatan ku berfikir :))
Ah iyaa... Suaminya romanteesss
yeay...98% berhasil menyampaikan niat penulis untuk menerangkan "penyakit" itu... [tanya ke penulis --> iya kan?mau yg itu kan? ] :p
ReplyDeletetapi yang ndak paham,mungkin aga' sulit memahami. awalnya ndak paham,tp nginget-nginget sama survey kamu kmaren :)
*hebaaaaat...
aih, iyakah sudah 98%? #berkaca-kaca
Deleteterima kasih, aku terharu
jadiii...tangganya ga sungguh2 ada...walaah, saya lebih lemot lagi nih...(*efekpuasa.com)... :)
ReplyDeleteada kok teh. :D
DeleteApa cik respon aku setelah selesai baca?
ReplyDelete"Alhamdulillaaaaah... >,<"
hihi. sama!
Deletepertama tercetus idenya bergidik
tak sangka akhirnya bisa melegakan. :D
Btw, suka tampilan baru blognya!
ReplyDeleteEh, dan FF ini juga tentunya :9
Manis ceritanya, semanis lapis surabaya kayaknya xixixi :D
ReplyDeleteterima kasih teteh Cia.
Deleteuntung baca komennya pas sahur tadi,
jadinya sempet menikmati manisnya lapis surabaya. :D
Diksi dan akurasi dialog yg keren gue kira! So, siapa yg jadi mati? *lemot
ReplyDeleteterima kasih mas eksak atas complimentnya
Deleteem... kasih tau gak ya~?
bagus mas, idenya selalu segar :D
ReplyDeleteprasangka buruk itu bisa menguasai pikiran ya.. hati-hati kejadian beneran :D
terima kasih sudah mampir dan atas apresiasinya
Deletebetul banget, prasangka buruk itu selalu lebih cepat ketimbang pemikiran positif.
Menyimpan prasangka seringkali memang berakibat buruk ya?
ReplyDeleteUntung aja cuma mimpi...
betul bunda. :D
Deleteyang namanya prasangka bruk itu memang harus dihindari. :D