Friday 22 July 2011

kisah lalu #4

Aku memutar badan dan pandanganku secara perlahan searah jarum jam sambil mengamati setiap lekukan ruangan ini. Dindingnya memang masih sangat baru, tapi di baliknya ada satu sosok bisu yang menjadi saksi ceritaku dengan seisi ruangan ini. Ruangan ini makin hangat seketika mentari mulai melawan rimbunnya dedaunan di sisi timur. Kaca-kaca itu pernah jadi sosok penjaga emosiku untuk tidak meninggalkan ruangan sebelum waktunya tiba. Kaca-kaca itu pula yang menjadi kanvas untuk telapak tanganku di setiap paginya.
Pandanganku sampai di sudut ruangan dengan singgasana yang anggun dan agung untuk seseorang yang menjadi panutanku. Singgasana itu lengkap dengan bunga plastik dan beberapa alat tulis seadanya. Sebelah singgasana itu, sebidang papan tulis putih penuh coreng-moreng ucapan Darwin telah memberiku banyak hal. Satu sosok hangat yang setia menaburkan benih bekal masa mendatang tanpa takut coreng-moreng.

Friday 8 July 2011

kisah lalu #3

Semuanya masih tetap dingin dan tak ada kehangatan terpancar dari apa pun yang aku pandangi. Jarum jam menunjuk angka  enam dan angka dua belas. Sudah cukup pagi menurutku untuk memulai kegiatan. Tapi ruangan ini masih tetap hening tanpa hiruk pikuk seperti biasanya.

Arah jam sebelasku berdiri kulihat lemari usang penuh dengan buku yang entah milik siapa saja. Aku ingat, lemari itulah yang selama ini memberikan berbagai bekal untukku hingga sampai pada hari ini. Tanpa pikir panjang, aku berjalan ke arah lemari usang tersebut berharap apa yang sempat aku titipkan masih tetap di tempatnya. Ada binar cahaya mentari yang masuk melalui celah dedaunan seolah hendak memberi pertolongan dalam pencarian. Samar-samar kulihat satu buku berwarna biru yang sangat aku  kenal. Semakin jelas kulihat bahwa buku itu masih tetap di tempat yang sama seperti terakhir aku melihatnya.