Saturday 6 July 2013

KEPINGAN ROMAN : Pahlawan Kembali Ke Haluan



“Kenapa harus begitu?! Persetan dengan persyaratan!”

Aku tersentak dengan nada tinggi yang dikeluarkan lelaki kecil di sampingku, Roman namanya. Baginya berbicara hal-hal penting via telepon merupakan sesuatu yang tidak lumrah dan melanggar etika. Besar dari kesederhanaan serta keteladanan sang ayah membuatnya menjadi pribadi yang santun juga dihormati. Jika sudah keluar kata cacian, itu tidak lebih dari akibat ketidaksesuaian apa yang sedang dia hadapi.



“Baiklah, maafkan saya. Kalau seperti itu mau bagaimana lagi? Iya, terima ka…sih”

Suaranya kembali terdengar seperti biasanya, ada yang salah dengan percakapan tadi.

“Kenapa?” tanyaku dengan melempar kaleng minuman ke arahnya.

“Biasa. Lagi-lagi tak ada yang tembus. Rasanya, sudah ratusan aplikasi terkirim tanpa kurang satu apa pun. Kamu pun tahu itu kan?” selorohnya diikuti letupan bunyi kaleng minuman dengan soda membuncah.

Sudah dua tahun aku temani Roman dalam menyelesaikan semua aplikasi yang hendak dikirimkannya. Pria lulusan pasca sarjana salah satu universitas di Yogyakarta ini memuaskan dari segala sisi kecuali fisik. Kecerdasan yang diganjar lulusan terbaik semasa program sarjana tak cukup membuatnya puas hingga tak tanggung-tanggung langsung menggondol gelar master dua tahun berikutnya. Bagaikan sebuah mobil balap, tak ada tenaga yang dibuang percuma semasa usia produktifnya. Itu dibuktikan dengan puluhan ekspedisi ke pelosok negeri beserta empat orang kawannya. Ratusan foto dan catatan perjalanan atas namanya menghiasi beberapa situs nasional.

Andaikata orang-orang bertanya darimana energi unlimited itu berasal, ayahnyalah yang bertanggung jawab atas gen tak kenal lelah dalam diri Roman. Aku selalu teringat kalimat buah tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, jika ditanya seperti apa contohnya maka karibku ini jawabannya. Sejak muda sang ayah juga seorang petualang dan tak pandang bulu soal aktifitas. Jadi petani sampai berkelana menjelajahi tiga perempat bagian bumi hanya bermodal kesederhanaan pun pernah. Roman mengaku tak pernah mendapat kesan ayah yang memberikan pelajaran selayaknya guru di sekolah, hanya dengan memandang punggung dan mendengarkan lantunan nada percakapan sang ayah sudah cukup. Ayahnya memang sosok pahlawan melebihi kesan Superman atau si Pitung bagi anak-anak sebayanya dahulu.

“Boy, apa sebenarnya arti gelar di belakang namaku ini kalau ratusan lamaran tak ada yang berbuah semanis durian?”

Pertanyaan itu menarik pikiranku yang sedari tadi menonton rekaman masa kecil milik Roman.  Kini dia membenamkan wajah ke dalam lipatan kedua tangannya. Kakinya diangkat bergantian seperti irama sebuah jungkat-jungkit di taman sebelah rumah. Senyumku terkembang seketika, ini memang Roman yang kukenal.

“Buatku sih tak ada hal percuma dari semua waktu yang sudah kau bunuh selama ini, Rom.”

Tak ada respon secepat kilat seperti biasanya. Hening, yang kudengar kini hanya tarikan nafas Roman beradu dengan suara mesin pendingin makanan. Tubuh mungilnya ditutupi selimut tipis peninggalan sang ibu. Aku hanya bisa menatapnya tanpa henti sesekali memindahkan pandangan ke arah white board di sebelah pintu. Coretan tak tentu letak itu ditimpali beberapa lembar post-it ragam warna dengan konten yang nyaris sama persis, daftar alamat tujuan lamaran.

“Aku rasanya ingin berhenti, Boy. Dua tahun cukup buatku menerima kalimat penolakan dengan balutan bahasa puitis nan manis dari setiap tempat tujuan lamaran,” kalimat itu meluncur perlahan diikuti isak tangis.

Aku sontak mengguncang tubuhnya hingga bisa kurasakan wajahku mendidih dengan kalimatnya tadi, “Rom! Lo sangat boleh berhenti dari usaha ngelamar ini! Tapi gak sekarang!”

Dadaku sesak seketika saat Roman yang kukenal tiba-tiba menjadi selembek cokelat yang meleleh kepanasan. Aku masih tidak yakin kalau lelaki yang telungkup di sebelahku itu dia, Roman. Pasalnya, selama aku mengenalnya sejak masuk SMA tak ada pertanda kalau dia seorang lelaki biasa bahkan lemah. Semasa orientasi peserta didik sebelas tahun lalu dia pernah terang-terangan menyatakan perlawanan berarti pada senior karena dihukum tanpa alasan bahkan harus melibatkan teman sekelompoknya. Pun dengan ospek kampus, fakultas dan himpunan, Roman selalu menjadi tameng bagi ketidakajelasan status benar atau salahnya mahasiswa baru. Tak ayal lusinan tanda tangan senior selama orientasi ketika sekolah juga kuliah terpampang jelas di samping poster Oasis lengkap dengan figura layaknya foto presiden dan wakil presiden.

“Apa yang ayah kasih tau dulu sebelum berangkat ke Ujung Pandang untuk berlayar ternyata cuma omong kosong,” ucapnya lirih masih dengan iringan isak tangis. “Bahkan sekarang ayah ada di belahan bumi mana atau dengan siapa pun aku tak tahu menahu,” lanjutnya dengan menghentikan gerakan mengayun kedua kaki.

Aku beranjak dari lantai dengan tarikan nafas yang panjang. Baru kali ini aku berbincang dengannya tanpa ada letupan semangat berapi-api seperti biasa. Kulempar gantungan kunci maskot Piala Dunia 2010 kiriman dari kawanku semasa kuliah ke bahunya. Langkah kaki mengarahkanku pada dispenser dengan dua gelas di tangan. Tekanan ibu jari meluapkan air panas dari dispenser mengguyur kantung teh yang perlahan mengubah warna air dalam gelas menjadi kecokelatan. Seketika aroma bunga melati menyeruak dari gelas memenuhi indera penciuman dengan instan. Dua sachet gula putih kutuang ke dalam gelas hingga bisa kubayangkan kehangatannya.

Aku ingat dulu Roman pernah bercerita kalau saat dia tidak enak hati dan pikiran, teh aroma melati bagai obat penenang baginya. “Ini, coba minum tehnya. Siapa tau bakal bikin hati dan pikiran lebih tenang,” sodoran gelasku disambut anggukan kecil tanpa ada suara. Aku tak bisa memaksakan apa-apa sekarang selain menemani kegundahan yang menderanya.

“Ayahmu itu hebat,” ucapku tenang sambil memainkan bibir gelas dengan telunjuk. “Bayangkan saja, tanpa menjelaskan dengan banyak kata anaknya bisa tumbuh dewasa dan jadi panutan banyak orang. Aku merasa terhormat bisa berkawan lama denganmu,” pandanganku kini menerawang jauh menembus langit-langit kamar menuju kenangan masa lalu kami berdua. “Apa yang sudah aku terima sampai sekarang bukan cuma karena perjuanganku atau kedua orang tuaku saja. Ada banyak hal yang  sudah aku jadikan perbendaharaan ilmu dari semua cerita serta sikapmu selama ini. Kamu, layaknya ayahmu, mengajari tanpa menggurui.”

Roman menggeliat, kepalanya sedikit terangkat dari lipatan tangannya. Lengannya perlahan meraih gelas teh beraroma melati dan menyeretnya dengan paksa hingga menimbulkan decit di telingaku hanya untuk mendekati hidung. Dagu lancipnya yang ditopang lengan, basah dengan sisa air mata. Baru kali ini aku melihat wajah kerasnya tampak lemah bagai diterjang badai derita. Aku memang tidak merasakan pahitnya penolakan aplikasi apalagi sampai durasi dua tahun lamanya. Itulah adilnya Tuhan, aku yang sulit untuk menabung dan biasa saja secara mental diberikan kemudahan mendapat pekerjaan dikala Roman menghabiskan waktu dengan kuliah atau proyek dari dosennya. Aku tau sekarang betapa beratnya ujian ini bagi Roman yang terbiasa dimudahkan selama perkuliahan baik dalam akademik maupun keuangan hasil proyeknya.

“Makasih, Boy,” ujarnya seraya mengubah posisi badan terlentang menantang langit-langit. “Aku sering ragu kalau mengingat ratusan penolakan dari ratusan lamaran selama ini. Tapi melihatmu tak pernah melunturkan keyakinan atas usaha kecilku selalu membuatku ingin bangkit, sampai kali ini aku merasa tak sanggup berdiri di kedua kakiku. Lagi untuk kesekian kalinya, ketenanganmu dalam menyikapi masalah membuatku rasanya selalu ada jalan keluar.”

Ada senyum getir dari wajah yang ditutupi otot lengan itu. Isak tangisnya kini bukan tentang bagaimana harus mengakhiri usaha, tetapi itu tentang bagaimana mengembalikan mental yang sempat roboh untuk dibangun kembali menantang esok hari. Aku menenggak teh dari gelas dengan satu tarikan nafas panjang diliputi bahagia. Tak ada perasaan kuatir kali ini, malam panjang nan berat sudah kami lalui untuk kesekian kalinya.

.  .  .

5 jam kemudian

“Assalamu’alaikum! Rom! Ada titipan pempek dari temenku di kantor nih. Dia bilang spesial pake telur bebek buat bang Omi!” ucapku sambil melepas kedua sepatu.

Aneh. Hening sekali rasanya kontrakan kami kali ini, padahal biasanya karibku itu selalu memutar lagu favoritnya atau sekedar menonton film dengan volume yang lumayan keras. Aku langsung menuju kamar dengan pintu dengan cutting sticker besar bertuliskan Bahagia itu sederhana. Pintunya tidak tertutup rapat, ada celah kecil yang bisa kulihat dinding kamar berwarna biru langit.

“Rom! Lagi ngapain?” kulemparkan pertanyaan diiringi derit engsel pintu.

Tampak wajah milik kawan karibku begitu antusias dengan satu amplop di tangan meski masih terlihat seperti orang bangun tidur. Sesaat tadi aku memang berpapasan dengan orang berkostum oranye yang biasa disebut tukang pos. Rupanya ada kiriman buat Roman. Ya sudah, sebaiknya aku tinggal sendiri dulu, ucapku dalam batin. Hendak berbalik menuju ruang tengah dan menarik pintu Roman menyuruhku untuk tetap tinggal.

“’Alaikumsalam! Sini, boy!” suaranya kembali seperti biasanya dan penuh semangat.

Aku mengangguk dan membawa satu plastik pempek titipan teman buatnya. Suara robekan kertas begitu renyah diperdengarkan oleh Roman. Senyumnya tak henti merekah tapi bisa kurasakan deru nafasnya memburu yang aku yakini ada perasaan was-was meliputi. Aku duduk di samping Roman memperhatikan sekeliling yang tampak sudah berubah. Kamar ini menjadi lebih rapi dan lebih luas dari sebelumnya. Mungkin setelah aku tinggalkan meeting dengan rekanku pagi tadi dia mengubah tata letaknya hingga tidur pulas karena lelah.

Bukk…!

Kepalan tangannya mendarat di dadaku dengan keras. Kertas dari dalam amplop tersebut tidak rapi lagi karena diremas paksa oleh jemari penuh tenaga. Telapak tangan menutup hidung mancung sampai kedua alisnya. Jantungku mulai berdegup lebih kencang sekarang, ada rasa takut yang menjalar dalam setiap aliran darah. Ujian seperti apa lagi yang Engkau berikan sampai-sampai kawanku ini meluapkan emosi sebesar ini?

Isak tangis kembali menghiasi pendengaranku. Aku memberanikan diri membaca isi surat yang dia berikan karena kepalannya sudah mengetuk dadaku empat kali.


Yth. Sdr Rommy Pandu Santosa
di
Tempat

Dengan hormat,

Menindaklanjuti beberapa lamaran yang sudah saya terima dalam satu tahun terakhir, saya selaku direksi yang berwenang dengan senang hati menerima aplikasi Anda. Saya berharap Anda bisa segera bergabung dengan perusahaan mulai Senin depan.

Selamat atas keberhasilan Anda selama ini. Saya sangat menantikan perbincangan tentang kontrak kerja dan pengalaman Anda hari Senin nanti.

Hormat saya,


Ahmad Pandu Santosa


Mataku terbelalak tak pecaya, jantungku kini memompa semakin kencang. Bukan isi surat yang membuatku terhenyak kaget, tapi nama di ujung surat. Aku sangat mengenal nama itu. Nama yang selalu tertera dalam setiap dokumen milik Roman. Sang pahlawan yang pernah menghilang, kini kembali ke haluan tanpa sedikit pun kehilangan peran. Sang ayah yang sering aku inginkan keberadaannya kini akan bertemu dengan si pengagum. Tangisannya semakin menjadi ada haru di sana, tapi itu adalah tangis bahagia.  Ayah yang dia selalu banggakan ternyata selalu memantau bagaimana kesatrianya tumbuh dan berkembang. Kini, semua hal menjadi masuk akal.

9 comments:

  1. sebagai komentar kilat, sebelum edisi panjangku, mau bilang... endingnya keren ^_^ unpredict... hm.... kok bisaaa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. penasaran sama ulasan panjangnya! :D
      ini karena imajinasi (gayanya spongebob)

      Delete
  2. Suka suka sukaaaaaaaa! Sma kayak teh Wied, keren endingnyaaaaaaaa! ><

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. aaaaakk~ terima kasih! >.<
      maaf cuma ada sosok ayah di sini.
      #efekBacaSosokIbuDiBerbagaiBlog

      Delete
  4. Endingnya keren. Banget.
    Ayah, selalu memperhatikan dalam diam. Berfikir dalam acuhnya. :) aaaaaaaakkkk

    ReplyDelete
    Replies
    1. mwehehehe

      iya, tapi terlalu acuh juga ndak baik buat kesehatan mbak :(

      Delete