Thursday 11 July 2013

Ramadhan di Rantau


Jika kuperhatikan, sudah satu minggu konten televisi dijejali dengan iklan seputar Ramadhan. Rasanya setahun kali ini lebih cepat berlalu. Ramadhan sudah kian di pelupuk mata, mendekat seiring aroma wewangian khas kesehariannya semakin terasa di panca indera. Bulan yang satu ini memang sangat dinanti kedatangannya oleh setiap muslim di dunia tidak terkecuali aku. Satu bulan penuh berkah tanpa kurang keistimewaan di setiap detiknya. Adalah hal yang wajib bagi setiap muslim untuk melaksanakan puasa sedari waktu imsak sampai adzan maghrib berkumandang. Dan itu selama satu bulan penuh lamanya.


Siapa tak rindu dengan Ramadhan? Setiap harinya ada kenangan seindah mutiara terpatri dalam hati. Jika sudah seperti itu, momen hari pertamalah yang akan selalu dirindukan. Bagaimana tidak? Memulai Ramadhan dengan berangkat tarawih bersama satu rombongan bagai pasukan perang lengkap  beserta atribut dan papa sebagai panglima. Sahur pun tak kalah menarik, selalu ada rengekan kemalasan milikku juga adik jika dibangunkan oleh sang wanita perkasa, mama. Maka membatalkan puasa adalah paling berkesan dari semuanya, di mana penyakit lemah, letih, lesu, dan lunglaiku tiba-tiba hilang dalam hitungan detik tatkala kumandang adzan maghrib menggema.

Kini, kepalaku dipenuhi rindu menggebu akan sisa-sisa ingatan tentang Ramadhan di kampung halaman. Bukan cuma aku, siapa pun yang sedang menjejak di tanah rantau untuk menimba ilmu ataupun mencari nafkah mulai menatap nanar masa lalu.

Ini tahun keduaku menjalani Ramadhan di perantauan jauh dari keluargaku bahkan kamar kesayanganku. Tak ada yang salah disini, toh aku sudah memilih. Jadi jika hatiku sangat merana karena kerinduan yang teramat sangat pada keluarga, itu adalah buah dari pilihan.

Bagiku, Ramadhan adalah saat dimana aku bisa duduk satu meja bersama semua bagian keluargaku, manakala sahur atau berbuka. Ini tentang kebersamaan sederhana penuh makna, nikmat dan terasa istimewa. Ada ritual menyiapkan hidangan penuh aroma menusuk penciuman, rapalan do’a ketika hendak memulai santap masakan sampai membersihkan perlengkapan makan kembali seperti semula semuanya dilakukan bersama.

.     .     .

Aku ingat, pagi itu hari masih sangat gelap. Jauh sebelum ayam jantan di sekitar rumah berkokok dengan nyaring dan perkasa, mama sudah bangun. Tak ada trik jitu supaya bisa bangun sepagi itu, hanya insting tajam seorang perempuan untuk menyiapkan santapan sahur bagi keluarga. Rasa malas menggelayut di pelupuk mata berwujud makhluk bernama kantuk. Susah payah kami bisa sampai meja makan yang dipenuhi ragam masakan hasil racikan mama. Bermula dengan do’a yang dipimpin papa, kami mulai santap sahur. Sayup kudengar celotehan menghiasi meja makan dengan riang mulai dari bahasan tentang kegiatan nanti siang sampai menu berbuka puasa. Selalu menyenangkan.

Santap sahur usai. Adakala dimana kami langsung berpencar ke masing-masing ruangan untuk persiapkan keperluan beraktifitas atau sekedar berkumpul menghangatkan ruang keluarga menikmati acara pagi. Imsak diberitakan, tak lama setelah itu adzan subuh berkumandang. Kami beranjak mengambil wudlu dilanjut shalat berjama’ah. Tak ada hal indah melebihi satu pagi yang dilalui secara bersama-sama satu keluarga.

Waktu ashar merupakan saat dimana orang ramai turun ke pasar kaget yang ada hampir di setiap sudut jalan. Pasar dadakan ini tumpah jika Ramadhan tiba, menu yang ditawarkan hampir sama, sajian manis untuk membatalkan puasa. Pandanganku beredar cepat melihat sekeliling, ada yang sedang mencari minuman manis dan menyegarkan juga makanan dengan harga murah sampai berharga lumayan. Tapi santapan yang paling dinanti selama Ramadhan adalah kolak pisang dengan bonus beberapa buah kolang-kaling. Itu baru disebut makanan paling nikmat sedunia, tentunya diracik oleh mama dengan penuh cinta untuk semua anggota.

Berbeda dengan bulan-bulan biasa, Ramadhan merupakan waktu dimana aku bisa melakukan ragam kegiatan bersama-sama lebih sering dari biasanya. Bayangkan, mulai dari mata terbuka sampai tertutup yang kutemui adalah utuhnya keluarga. Terasa istimewa ketika itu dilalui selama satu bulan lamanya.

Ada hal lain yang tak kalah menyenangkan, berbuka puasa bersama keluarga besar. Bayangkan saja bagaimana ramainya jika satu marga keluarga tumplek dalam satu acara. Aku selalu menikmati momen ini, berpakaian rapi sedari rumah sambil membawa makanan, menatap lekat jalanan yang penuh sesak dengan para pencari ta’jil. Kali ini macet seolah hal yang bisa aku tolelir hingga sampai di rumah nenek. Riuhnya perbincangan menghiasi pendengaran, bisa kurasakan bahwa sudah ramai sanak saudaraku di dalam sana. Ada satu menu spesial di sana, satu panci kolak durian didampingi ketan yang tentunya siap diserbu setiap orang. Siapa lagi yang menyiapkan kalau bukan nenek tercinta memenuhi permintaan kami cucu-cucunya.

Ramadhan sudah hampir di ujungnya. Syawal kian mendekat, pertanda hari raya akan segera tiba. Persiapan dilakukan untuk menyambut Idul Fitri  juga mudik. Tradisi untuk kembali ke kampung halaman bersilaturahmi dengan handai taulan. Kata mudik mungkin untuk disematkan pada mereka yang sedang di rantau. Tidak bagi keluargaku. Kota ini adalah rumah.

Aku hanya bersiap untuk menyambut kedatangan hari raya dengan segala kemegahannya. Kegiatan utama menjelang Idul Fitri adalah menemani mama berburu beragam kue-kue untuk memenuhi toples kaca yang sudah dibersihkan hingga mengilap dan tampak cantik.

Ini masih Ramadhan, namun sudah mencapai penghujung. Kehangatan masih terasa bahkan semakin besar jika mengingat akan segera berpisah dengannya dan berganti raya. Aktifitasnya masih sama, dimulai santap sahur sampai tarawih bersama. Hanya saja kini sudah sampai di penghujung dan hendak berganti takbir. Kesibukan mama masih sama, meracik hidangan buatku dan keluarga, hanya saja sudah berganti jenis karena hendak raya.

.     .     .

Ramadhanku tak lagi sama,  menu-menu khas yang biasa dihidangkan mama berganti dengan makanan seadanya cukup untuk mengganjal perut. Ramadhanku tak lagi sama, celotehan riang diiringi canda tawa menanti imsak berganti dengan tukar pesan dan kabar di ponsel untuk membunuh rindu ala kadarnya. Ramadhanku tak lagi sama memang, tapi hangatnya masih bisa kurasakan. Rindu Ramadhan di kampung halaman.


#Tulisan kolaborasi dengan satu adekku Reiny yang muncul karena kerisauan dari kakaknya, Intan karena sudah buka blog tapi tidak jadi terus untuk menulis. :)
Teruntuk kalian yang sedang di perantauan, semangat ya!

4 comments:

  1. Perfect!!!! Ini keren abis.. Kolaborasi yang WOW. Ramadhan :)
    Untuk adek sayang, Reiny, semangat yaaa. Ramadhan di rantau, akan selalu ada cerita. Buat cerita2 hebat bukan untuk membuat sejarah, tp untuk membuat perbedaan. Jangan pernah ragu.
    Buat kakang yang paling males liat adeknya ini diem, makasi yaaaa.. Keep inspiring, keep creativ. Buat rumah2 baru. Renovasi lagi rumah2 yang kurang pas. Biar cantik. Selalu suka semua karya2 dan ide berserta syaratnya.. Hhaha

    You both.. Ga ada yang lebih indah daripada melewati Ramadhan dirumah sama keluarga. Dan ga ada yang aku tunggu di Ramadhan taun ini kecuali PULANG. :')

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete