“Kenapa
harus begitu?! Persetan dengan persyaratan!”
Aku
tersentak dengan nada tinggi yang dikeluarkan lelaki kecil di sampingku, Roman
namanya. Baginya berbicara hal-hal penting via telepon merupakan sesuatu yang
tidak lumrah dan melanggar etika. Besar dari kesederhanaan serta keteladanan
sang ayah membuatnya menjadi pribadi yang santun juga dihormati. Jika sudah
keluar kata cacian, itu tidak lebih dari akibat ketidaksesuaian apa yang sedang
dia hadapi.
“Baiklah,
maafkan saya. Kalau seperti itu mau bagaimana lagi? Iya, terima ka…sih”
Suaranya
kembali terdengar seperti biasanya, ada yang salah dengan percakapan tadi.
“Kenapa?”
tanyaku dengan melempar kaleng minuman ke arahnya.
“Biasa.
Lagi-lagi tak ada yang tembus. Rasanya, sudah ratusan aplikasi terkirim tanpa
kurang satu apa pun. Kamu pun tahu itu kan?” selorohnya diikuti letupan bunyi
kaleng minuman dengan soda membuncah.
Sudah
dua tahun aku temani Roman dalam menyelesaikan semua aplikasi yang hendak
dikirimkannya. Pria lulusan pasca sarjana salah satu universitas di Yogyakarta
ini memuaskan dari segala sisi kecuali fisik. Kecerdasan yang diganjar lulusan
terbaik semasa program sarjana tak cukup membuatnya puas hingga tak
tanggung-tanggung langsung menggondol gelar master dua tahun berikutnya.
Bagaikan sebuah mobil balap, tak ada tenaga yang dibuang percuma semasa usia
produktifnya. Itu dibuktikan dengan puluhan ekspedisi ke pelosok negeri beserta
empat orang kawannya. Ratusan foto dan catatan perjalanan atas namanya
menghiasi beberapa situs nasional.
Andaikata
orang-orang bertanya darimana energi unlimited
itu berasal, ayahnyalah yang bertanggung jawab atas gen tak kenal lelah dalam
diri Roman. Aku selalu teringat kalimat buah
tak pernah jatuh jauh dari pohonnya, jika ditanya seperti apa contohnya
maka karibku ini jawabannya. Sejak muda sang ayah juga seorang petualang dan
tak pandang bulu soal aktifitas. Jadi petani sampai berkelana menjelajahi tiga
perempat bagian bumi hanya bermodal kesederhanaan pun pernah. Roman mengaku tak
pernah mendapat kesan ayah yang memberikan pelajaran selayaknya guru di
sekolah, hanya dengan memandang punggung dan mendengarkan lantunan nada
percakapan sang ayah sudah cukup. Ayahnya memang sosok pahlawan melebihi kesan
Superman atau si Pitung bagi anak-anak sebayanya dahulu.
“Boy,
apa sebenarnya arti gelar di belakang namaku ini kalau ratusan lamaran tak ada
yang berbuah semanis durian?”
Pertanyaan
itu menarik pikiranku yang sedari tadi menonton rekaman masa kecil milik Roman. Kini dia membenamkan wajah ke dalam lipatan
kedua tangannya. Kakinya diangkat bergantian seperti irama sebuah
jungkat-jungkit di taman sebelah rumah. Senyumku terkembang seketika, ini
memang Roman yang kukenal.
“Buatku
sih tak ada hal percuma dari semua waktu yang sudah kau bunuh selama ini, Rom.”
Tak
ada respon secepat kilat seperti biasanya. Hening, yang kudengar kini hanya
tarikan nafas Roman beradu dengan suara mesin pendingin makanan. Tubuh
mungilnya ditutupi selimut tipis peninggalan sang ibu. Aku hanya bisa
menatapnya tanpa henti sesekali memindahkan pandangan ke arah white board di sebelah pintu. Coretan
tak tentu letak itu ditimpali beberapa lembar post-it ragam warna dengan konten yang nyaris sama persis, daftar
alamat tujuan lamaran.
“Aku
rasanya ingin berhenti, Boy. Dua tahun cukup buatku menerima kalimat penolakan
dengan balutan bahasa puitis nan manis dari setiap tempat tujuan lamaran,”
kalimat itu meluncur perlahan diikuti isak tangis.
Aku
sontak mengguncang tubuhnya hingga bisa kurasakan wajahku mendidih dengan
kalimatnya tadi, “Rom! Lo sangat
boleh berhenti dari usaha ngelamar ini! Tapi gak sekarang!”
Dadaku
sesak seketika saat Roman yang kukenal tiba-tiba menjadi selembek cokelat yang
meleleh kepanasan. Aku masih tidak yakin kalau lelaki yang telungkup di
sebelahku itu dia, Roman. Pasalnya, selama aku mengenalnya sejak masuk SMA tak
ada pertanda kalau dia seorang lelaki biasa bahkan lemah. Semasa orientasi
peserta didik sebelas tahun lalu dia pernah terang-terangan menyatakan
perlawanan berarti pada senior karena dihukum tanpa alasan bahkan harus
melibatkan teman sekelompoknya. Pun dengan ospek kampus, fakultas dan himpunan,
Roman selalu menjadi tameng bagi ketidakajelasan status benar atau salahnya
mahasiswa baru. Tak ayal lusinan tanda tangan senior selama orientasi ketika
sekolah juga kuliah terpampang jelas di samping poster Oasis lengkap dengan
figura layaknya foto presiden dan wakil presiden.
“Apa
yang ayah kasih tau dulu sebelum berangkat ke Ujung Pandang untuk berlayar
ternyata cuma omong kosong,” ucapnya lirih masih dengan iringan isak tangis. “Bahkan
sekarang ayah ada di belahan bumi mana atau dengan siapa pun aku tak tahu
menahu,” lanjutnya dengan menghentikan gerakan mengayun kedua kaki.
Aku
beranjak dari lantai dengan tarikan nafas yang panjang. Baru kali ini aku
berbincang dengannya tanpa ada letupan semangat berapi-api seperti biasa. Kulempar
gantungan kunci maskot Piala Dunia 2010 kiriman dari kawanku semasa kuliah ke bahunya.
Langkah kaki mengarahkanku pada dispenser dengan dua gelas di tangan. Tekanan
ibu jari meluapkan air panas dari dispenser mengguyur kantung teh yang perlahan
mengubah warna air dalam gelas menjadi kecokelatan. Seketika aroma bunga melati
menyeruak dari gelas memenuhi indera penciuman dengan instan. Dua sachet gula putih kutuang ke dalam gelas
hingga bisa kubayangkan kehangatannya.
Aku
ingat dulu Roman pernah bercerita kalau saat dia tidak enak hati dan pikiran, teh
aroma melati bagai obat penenang baginya. “Ini, coba minum tehnya. Siapa tau
bakal bikin hati dan pikiran lebih tenang,” sodoran gelasku disambut anggukan
kecil tanpa ada suara. Aku tak bisa memaksakan apa-apa sekarang selain menemani
kegundahan yang menderanya.
“Ayahmu
itu hebat,” ucapku tenang sambil memainkan bibir gelas dengan telunjuk. “Bayangkan
saja, tanpa menjelaskan dengan banyak kata anaknya bisa tumbuh dewasa dan jadi
panutan banyak orang. Aku merasa terhormat bisa berkawan lama denganmu,”
pandanganku kini menerawang jauh menembus langit-langit kamar menuju kenangan
masa lalu kami berdua. “Apa yang sudah aku terima sampai sekarang bukan cuma karena
perjuanganku atau kedua orang tuaku saja. Ada banyak hal yang sudah aku jadikan perbendaharaan ilmu dari
semua cerita serta sikapmu selama ini. Kamu, layaknya ayahmu, mengajari tanpa
menggurui.”
Roman
menggeliat, kepalanya sedikit terangkat dari lipatan tangannya. Lengannya
perlahan meraih gelas teh beraroma melati dan menyeretnya dengan paksa hingga
menimbulkan decit di telingaku hanya untuk mendekati hidung. Dagu lancipnya yang ditopang lengan, basah dengan sisa air mata. Baru kali ini aku melihat
wajah kerasnya tampak lemah bagai diterjang badai derita. Aku memang tidak
merasakan pahitnya penolakan aplikasi apalagi sampai durasi dua tahun lamanya.
Itulah adilnya Tuhan, aku yang sulit untuk menabung dan biasa saja secara
mental diberikan kemudahan mendapat pekerjaan dikala Roman menghabiskan waktu
dengan kuliah atau proyek dari dosennya. Aku tau sekarang betapa beratnya ujian
ini bagi Roman yang terbiasa dimudahkan selama perkuliahan baik dalam akademik
maupun keuangan hasil proyeknya.
“Makasih,
Boy,” ujarnya seraya mengubah posisi badan terlentang menantang langit-langit. “Aku
sering ragu kalau mengingat ratusan penolakan dari ratusan lamaran selama ini.
Tapi melihatmu tak pernah melunturkan keyakinan atas usaha kecilku selalu
membuatku ingin bangkit, sampai kali ini aku merasa tak sanggup berdiri di
kedua kakiku. Lagi untuk kesekian kalinya, ketenanganmu dalam menyikapi masalah
membuatku rasanya selalu ada jalan keluar.”
Ada
senyum getir dari wajah yang ditutupi otot lengan itu. Isak tangisnya kini
bukan tentang bagaimana harus mengakhiri usaha, tetapi itu tentang bagaimana
mengembalikan mental yang sempat roboh untuk dibangun kembali menantang esok
hari. Aku menenggak teh dari gelas dengan satu tarikan nafas panjang diliputi
bahagia. Tak ada perasaan kuatir kali ini, malam panjang nan berat sudah kami
lalui untuk kesekian kalinya.
.
. .
5 jam kemudian
“Assalamu’alaikum!
Rom! Ada titipan pempek dari temenku di kantor nih. Dia bilang spesial pake
telur bebek buat bang Omi!” ucapku sambil melepas kedua sepatu.
Aneh.
Hening sekali rasanya kontrakan kami kali ini, padahal biasanya karibku itu
selalu memutar lagu favoritnya atau sekedar menonton film dengan volume yang
lumayan keras. Aku langsung menuju kamar dengan pintu dengan cutting sticker besar bertuliskan Bahagia itu sederhana. Pintunya tidak
tertutup rapat, ada celah kecil yang bisa kulihat dinding kamar berwarna biru
langit.
“Rom!
Lagi ngapain?” kulemparkan pertanyaan diiringi derit engsel pintu.
Tampak
wajah milik kawan karibku begitu antusias dengan satu amplop di tangan meski
masih terlihat seperti orang bangun tidur. Sesaat tadi aku memang berpapasan
dengan orang berkostum oranye yang biasa disebut tukang pos. Rupanya ada kiriman buat Roman. Ya sudah,
sebaiknya aku tinggal sendiri dulu, ucapku dalam batin. Hendak berbalik menuju
ruang tengah dan menarik pintu Roman menyuruhku untuk tetap tinggal.
“’Alaikumsalam!
Sini, boy!” suaranya kembali seperti biasanya dan penuh semangat.
Aku
mengangguk dan membawa satu plastik pempek titipan teman buatnya. Suara robekan
kertas begitu renyah diperdengarkan oleh Roman. Senyumnya tak henti merekah
tapi bisa kurasakan deru nafasnya memburu yang aku yakini ada perasaan was-was
meliputi. Aku duduk di samping Roman memperhatikan sekeliling yang tampak sudah
berubah. Kamar ini menjadi lebih rapi dan lebih luas dari sebelumnya. Mungkin
setelah aku tinggalkan meeting dengan rekanku pagi tadi dia mengubah tata
letaknya hingga tidur pulas karena lelah.
Bukk…!
Kepalan
tangannya mendarat di dadaku dengan keras. Kertas dari dalam amplop tersebut
tidak rapi lagi karena diremas paksa oleh jemari penuh tenaga. Telapak tangan
menutup hidung mancung sampai kedua alisnya. Jantungku mulai berdegup lebih
kencang sekarang, ada rasa takut yang menjalar dalam setiap aliran darah. Ujian seperti apa lagi yang Engkau berikan
sampai-sampai kawanku ini meluapkan emosi sebesar ini?
Isak
tangis kembali menghiasi pendengaranku. Aku memberanikan diri membaca isi surat
yang dia berikan karena kepalannya sudah mengetuk dadaku empat kali.
Yth. Sdr Rommy Pandu Santosa
di
Tempat
di
Tempat
Dengan hormat,
Menindaklanjuti beberapa lamaran yang
sudah saya terima dalam satu tahun terakhir, saya selaku direksi yang berwenang
dengan senang hati menerima aplikasi Anda. Saya berharap Anda bisa segera
bergabung dengan perusahaan mulai Senin depan.
Selamat atas keberhasilan Anda
selama ini. Saya sangat menantikan perbincangan tentang kontrak kerja dan
pengalaman Anda hari Senin nanti.
Hormat saya,
Ahmad Pandu Santosa
Mataku
terbelalak tak pecaya, jantungku kini memompa semakin kencang. Bukan isi surat yang membuatku terhenyak kaget, tapi nama di ujung surat. Aku sangat mengenal
nama itu. Nama yang selalu tertera dalam setiap dokumen milik Roman. Sang
pahlawan yang pernah menghilang, kini kembali ke haluan tanpa sedikit pun
kehilangan peran. Sang ayah yang sering aku inginkan keberadaannya kini akan
bertemu dengan si pengagum. Tangisannya semakin menjadi ada haru di sana, tapi
itu adalah tangis bahagia. Ayah yang dia
selalu banggakan ternyata selalu memantau bagaimana kesatrianya tumbuh dan
berkembang. Kini, semua hal menjadi masuk akal.
sebagai komentar kilat, sebelum edisi panjangku, mau bilang... endingnya keren ^_^ unpredict... hm.... kok bisaaa?
ReplyDeletepenasaran sama ulasan panjangnya! :D
Deleteini karena imajinasi (gayanya spongebob)
Suka suka sukaaaaaaaa! Sma kayak teh Wied, keren endingnyaaaaaaaa! ><
ReplyDeletekena deh!
Deletesurprise! :D
aaaaakk~ tulisannya superbbbb :D
ReplyDeleteaaaaakk~ terima kasih! >.<
Deletemaaf cuma ada sosok ayah di sini.
#efekBacaSosokIbuDiBerbagaiBlog
Endingnya keren. Banget.
ReplyDeleteAyah, selalu memperhatikan dalam diam. Berfikir dalam acuhnya. :) aaaaaaaakkkk
mwehehehe
Deleteiya, tapi terlalu acuh juga ndak baik buat kesehatan mbak :(
Nah, catat itu. Catat :))
ReplyDelete