Thursday 4 August 2011

i across the universe

Melancholy 
Selalu ada yang bernyanyi dan berelegi di balik awan hitam.
Semoga ada yang menerangi sisi gelap ini. 
Menanti seperti pelangi setia menunggu hujan reda.

Aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember




[efek rumah kaca - desember]


Alunan lirik milik salah satu band indie itu kian sering mengalun menghiasi tiap dinding kamarku beberapa hari terakhir ini. Tiap nadanya kini semakin jelas terngiang dalam ingatanku dengan berbagai kenangan yang terjadi di beberapa hari terakhir. Mataku perlahan terpejam mengikuti irama lagu yang dipantulkan oleh dinding-dinding kamar. Imajinasiku memainkan cuplikan not balok yang melayang pelan di sekitarku. Begitu anggun hingga aku memasuki dunia yang bukan milikku. Sebuah dunia yang tak di belenggu oleh dinding pembatas, begitu luas hingga aku bisa melihat tak ada ujungnya.




Suaranya semakin pelan dan bergantikan score yang menjadi soundtrack satu film animasi impor dari negeri Paman Sam. Forbidden Friendship karya John Powell ini membuat pikiranku perlahan terjaga dari dunia imajinasiku, dunia yang bukan milikku. Perlahan aku merasakan tubuh menghilang dari dunia itu seperti melalui sebuah gerbang antar dimensi yang kini membawaku kembali pada kursiku. Penglihatanku kini tertuju pada kalender kaku dari kayu.

Seminggu sudah aku mengurung diri di kamar hanya berkawankan satu laptop, kamera, jurnal perjalanan dan tentunya segelas teh hangat. Aku menatap ke luar jendela menembus kerangkeng transparan yang bermandikan bulir-bulir air hujan. Tampak jalanan sudah kian sepi oleh kendaraan yang lalu lalang menghindari serbuan air demi memperpanjang nafas untuk hari esok. Kini yang kulihat hanya derasnya air yang turun dari langit menyirami setiap sudut penglihatanku.

Kusandarkan kembali badanku di kursi malas yang setia menemani dalam tujuh hari terakhir ini. Tangan kananku masih memainkan mouse ke sembarang arah, sedangkan lengan kiriku jatuh lunglai tak bertenaga hingga mampu kurasakan semakin kaku di ujungnya. Mataku masih tak lepas dari layar monitor redup bergambarkan satu cangkir teh tak jauh dari kaca jendela.

Batinku berbisik, adakah dia juga sedang memperhatikan hujan yang sama? Hujan yang pernah menjadi jembatan kata bagi kami berdua. Hujan yang pernah kuberitahukan padanya bahwa tentang kenyamanan ketika berada di bawahnya. Hujan yang selalu aku banggakan padanya.

Hujan yang sedang kutatap ini memang sama seperti hujan lainnya. Hujan yang berkomposisikan bulir air tak dapat ditahan oleh pembawanya. Tapi bagiku, hujan ini bukan hanya sekedar buliran air seperti kebanyakan. Lewatnyalah aku sering bercerita, marah, kesal, senang, kecewa ataupun takut. Jika hujan tiba, aku selalu memandanginya dengan penuh harap supaya bisa mendapat kenyamanan darinya seperti saat-saat sebelumnya.

Hari ini aku masih memandangi luar jendelaku, merasakan setiap denyut pembuluh ini begitu tak kuat untuk mencurahkan segala hal yang selama seminggu ini dirasakan begitu berat. Pikiran dan segala perasaan dengan prasangka yang mulai tak karuan ini ingin sekali aku keluarkan. Begitu kuatnya hingga kakiku mulai menapak kuat pada lantai kamar memberi sinyal pada otot kaki dan tulangnya untuk berdiri menopang berat tubuhku. Punggung yang tadinya nyaman, kini tak ingin lagi bersandar pada kursi malas. Dengan tolakan yang lumayan dari lenganku, kini pantat dan punggungku terangkat mengikuti irama otot dan tulang kaki untuk lurus tegak seirama. Tahta teratas tubuh ini juga tak mau kalah dan memberi komando pada seluruh syaraf untuk berdiri tegak.

Tubuhku memutar berlawanan arah jarum jam dan langsung berjalan pelan menuju pintu untuk keluar dari penjara pikiran ini. Aku menyusuri lorong kecil ke arah kanan kamarku untuk menuju tangga. Kurentangkan tanganku hingga dindingnya dapat kurasakan oleh telapaknya. Kulewati berbagai foto berbingkai yang terpajang kaku di dinding itu hingga kini tepat berada di depan tangga. Kulayangkan pandangan ke setiap anak tangganya diikuti langkah kaki untuk menaikinya, satu demi satu. Semakin atas kurasakan udara semakin dingin dan dapat kulihat rembesan air di pintu terakhir yang kutuju. Tepalak kakiku mulai mengenali air yang menggenang dan dingin yang dibawanya. Tanganku meraih pegangan pintu dan memutarnya perlahan sehingga aku bisa membebaskan pikiranku sedikit demi sedikit.

Celah di depanku kini semakin melebar mempertemukanku kembali dengan dingin dan hujan yang aku kenal. Aku melangkah melewati batas manusia normal memilih untuk menjadi sosok bertemankan hujan. Setelah merasakan dingin yang biasanya, kini aku berani melaju lebih jauh ke tengah lantai paling atas di rumahku. Tubuhku kini kuyup di bawah riuh dan ramainya air hujan, bajuku mulai layu menahan berat air yang begitu banyak.

Kuangkat kedua lenganku setinggi bahu dan kurentangkan, kepalaku mulai tengadah menantang datangnya bulir air. Mata mulai terpejam dan aku serasa berada di dunia yang berbeda lagi, dunia yang sudah jelas bukan milikku. Kini aku menenangkan diri di bawah tarian hujan, mengistirahatkan penglihatan, menormalkan pernafasan, merasakan seluruh udara membawa serta pikiran dan aura negatif selagi jantungku memompa darah dan mengalirkan energi positif ke dalam pikiranku.

Tubuh ini mulai kembali tenang, segala pikiran yang membuat setiap oragan dan syaraf menjadi gelisah kini telah lenyap dibawa sang hujan. Mataku perlahan terang-terangan terbuka dan melawan sang air. Lenganku tak lagi terbuka seperti sebelumnya, kini ia tengadah di depan dada seperti posisi orang berdo’a.

I across the universe

No comments:

Post a Comment