Tuesday 16 August 2011

kabur, bukan hilang

blurism
Sore hari, semuanya menjadi hiruk pikuk. Penuh sesak tak bercelah. Jalan raya kota ini menyempit seketika tanpa peringatan. Peluit melengking di kiri kanan jalan memberi  arahan bagi yang hendak menepi. Klakson saling bersahutan tak karuan penuh ketidaksabaran. Mulut pun tak mau kalah berirama, mereka teriak dengan berbagai ekspresi. Marah dan kesal seolah sudah biasa.

Kota ini kian sendu, setiap sudutnya kini berganti warna. Ufuk barat mulai menampilkan pesona senja nan rupawan. Sementara di timur gelap mulai menyandera ceria kota secara perlahan. Satu persatu kendaraan roda empat mulai menyalakan head lamp. Karena sepasang mata tak awas dan temaramnya lampu jalan tak lebih dari bantuan biasa saja.


Lampu rumah dan pertokoan mulai berlomba menjadi penerang. Tak hanya berwarna kuning keemasan atau neon putih terang. Lampu temaram pun masih cukup menawan. Setidaknya masih mampu menahan mereka yang berpulang untuk singgah menjelajah malam. Gemerlap pertokoan kawasan Merdeka paling banyak menjaring kawanan.

Tatapanku tertuju pada jembatan penyebrangan nan usang. Dia masih tetap berdiri kokoh bersedia melayani siapa pun dan kapan pun. Meski banyak yang menantang laju kendaraan tanpa ikuti aturan. Jembatan itu yang selalu membuatku merasa bahwa kota in terlihat anggun meski telah malam. 

Kota ini memang suda renta tak berdaya. Banyak "budaya" tergadai demi kepuasan semata. Tak banyak keramahan tersisa pun dengan penghuninya. Perantau mendominasi, sementara atau lama sekali. Malam makin larut dan umur kota ini pun kian bertambah. Dia semakin keriput dan menua. Tak ada anti-aging yang mampu menahan proses rentanya.


Ya! 
Bandung kian renta. 
Tak berdaya dan semakin tua. 
Di telan gelap semua menjadi kabur, tapi tak hilang. 
Dia masih tetap menawan. 
Dia masih tetap Bandung!

suatu prolog untuk Bandung Yang Kian Renta

No comments:

Post a Comment