Friday 22 July 2011

kisah lalu #4

Aku memutar badan dan pandanganku secara perlahan searah jarum jam sambil mengamati setiap lekukan ruangan ini. Dindingnya memang masih sangat baru, tapi di baliknya ada satu sosok bisu yang menjadi saksi ceritaku dengan seisi ruangan ini. Ruangan ini makin hangat seketika mentari mulai melawan rimbunnya dedaunan di sisi timur. Kaca-kaca itu pernah jadi sosok penjaga emosiku untuk tidak meninggalkan ruangan sebelum waktunya tiba. Kaca-kaca itu pula yang menjadi kanvas untuk telapak tanganku di setiap paginya.
Pandanganku sampai di sudut ruangan dengan singgasana yang anggun dan agung untuk seseorang yang menjadi panutanku. Singgasana itu lengkap dengan bunga plastik dan beberapa alat tulis seadanya. Sebelah singgasana itu, sebidang papan tulis putih penuh coreng-moreng ucapan Darwin telah memberiku banyak hal. Satu sosok hangat yang setia menaburkan benih bekal masa mendatang tanpa takut coreng-moreng.

Akhirnya pandanganku tertuju pada singgasana yang menjadi kebanggaanku. Namun tak kusangka duduk di sana seseorang yang sangat aku kenal dan entah sudah berapa lama dia ada di situ. Pandangannya yang lembut membuatku sedikit malu untuk mengakui kelemahanku di depan lemari usang tadi. Bibirnya mengembangkan senyum yang setiap hari kutemui. Senyum tulus yang membuatku harus mengakui kelemahanku tadi di depannya. Tangan kananku yang kaku memegang buku biru itu kini terkulai tak ada daya.
Dia berdiri secara perlahan diikuti deritan singgasana yang biasa kupakai. Lengannya merapikan jilbab langit yang dia kenakan pagi itu. Tatapannya mulai menantang mataku dengan hiasan lesung pipit di pipi. Tanpa pikir panjang dia pun berjalan ke arahku dengan perasaan tanpa ragu. High heelsnya kini mengeluarkan irama yang membunuh keheningan pagi. Tak butuh waktu lama, kini dia berada sekitar 30cm di hadapanku masih dengan senyumnya yang tulus. Lengannya menggamit lenganku dan berada di sampingku. Perlahan kakinya melangkah yang serta merta diikuti langkahku. Sejenak dia menatap wajahku dan tersenyum, sambil melangkah bibirnya mengucapkan beberapa kalimat yang tak asing juga untuk telingaku.
Mentari memang tak begitu terik menyapa
Pun dengan kehangatan tak muncul ketika dicari
Langkah kaki yang kau kirim
kini membawaku melintasi
berjuta mimpi
Dalam setiap detiknya ada
kehangatan terbalut sejuknya embun
untuk itu kan kuucapkan
“Terima Kasih!”

#END OF 1st CHAPTER#


Alhamdulillah akhirnya chapter pertama dari satu kisah perjalanan ceritaa ini telah selesai. Aku ucapkan terima kasih untuk teman-teman yang mengikutinya dari bagian satu. Insyaallah cerita ini masih akan berlanjut menuju chapter kedua yang masih berada di dapur editing. Aku harap teman-teman akan tetap setia untuk mengikutinya.

jika ada masukan atau saran membangun, silakan sampaikan di kolom komentar. 
salam karya! 

No comments:

Post a Comment