Friday 8 July 2011

kisah lalu #3

Semuanya masih tetap dingin dan tak ada kehangatan terpancar dari apa pun yang aku pandangi. Jarum jam menunjuk angka  enam dan angka dua belas. Sudah cukup pagi menurutku untuk memulai kegiatan. Tapi ruangan ini masih tetap hening tanpa hiruk pikuk seperti biasanya.

Arah jam sebelasku berdiri kulihat lemari usang penuh dengan buku yang entah milik siapa saja. Aku ingat, lemari itulah yang selama ini memberikan berbagai bekal untukku hingga sampai pada hari ini. Tanpa pikir panjang, aku berjalan ke arah lemari usang tersebut berharap apa yang sempat aku titipkan masih tetap di tempatnya. Ada binar cahaya mentari yang masuk melalui celah dedaunan seolah hendak memberi pertolongan dalam pencarian. Samar-samar kulihat satu buku berwarna biru yang sangat aku  kenal. Semakin jelas kulihat bahwa buku itu masih tetap di tempat yang sama seperti terakhir aku melihatnya.



“Tak se-ke-dar ta-ri-an je-ma-ri,” begitu mulutku menggumam ejaan yang tertulis di sampul depannya.

Tangan kananku berusaha menggeser kaca penutup itu dengan agak susah payah. Tanpa sadar tangan kiriku mulai membatu sekuat tenaga yang kupunya pagi itu. Tak butuh waktu lama untuk membukanya hingga akhirnya kuraih buku bersampul biru nan usang itu. Di sudut kanan bawah sampul depannya terukir huruf “S” dan “A”yang tercermin menjadi huruf “A” dan “Z” yang menyerupai dua huruf sebelumnya.

“Lama tak bersua kawanku,” bisikku lirih saat membuka sampulnya.

Kutemukan beberapa baris kalimat yang direkam jelas ingatanku dan masih sering sering kupakai sewaktu-waktu, di halaman yang kini mengahadap wajahku. Kalimat yang selalu menjadi pengantar pagi di setiap mataku memandang sekitar. Kalimat yang memberikan sejumput semangat untuk melalui setiap harinya. Kalimat yang membasuh lelah jiwaku di pagi hari. Kalimat yang masih berbunyi sama sampai saat ini aku menggunakannya. Perlahan namun pasti bibirku mulai menggumamkan kalimat-kalimat tersebut.
Sapa embun pagi yang datang
bawakan mimpi
Kembarakan harimu dengan langkah-langkah kaki
yang iringi sejuta hari
Untuk itu kan kuucapkan
“Selamat pagi!”
Pandanganku sedikit kabur, ada yang gumpalan transparan di kantung mataku yang tak terbendung dan akhirnya meluncur perlahan. Kuseka pipiku perlahan sambil sedikit terisak, dari sini semuanya berawal dan entah akan sampai kapan cerita ini berlanjut.
Tanpa terasa jarum jam menunjuk angka enam dan tiga, sedikit demi sedikit suasana hangat yang dinanti kian merebak. Lemari usang di hadapanku kian memancarkan setiap sudutnya dengan jelas. Coretan kreatif anak-anak muda mulai yang menghiasi setiap sisinya, makin menegaskan bahwa ini memang sebuah lemari usang. Tak banyak bercerita aku dengan lemari ini, namun titipan yang sudah sejak sekian lama aku simpan menyiratkan banyak cerita bersamanya.
“Terima kasih sudah menjaga kepingan ceritaku di ruangan ini,” bisikku pada satu sudut lemari itu.

No comments:

Post a Comment