Thursday 15 August 2013

KEPINGAN ROMAN : Sosok Itu Biruni Omar Yusuf

‘Sukses!’

Itu adalah kata pertama yang kulontarkan pagi ini ketika mendapati kantung mata yang kian tebal nan legam. Rupanya hasil perjudianku beberapa malam harus ditebus dengan turunnya kadar ketampanan. Mungkin beberapa orang akan bertanya tentang perihal aktifitasku yang sudah seperti hewan nocturnal.

Aku mengamati sosok yang sedang memperhatikanku saat ini. Sesaat satu alisnya terangkat dan tampak seperti melontarkan pertanyaan ‘kenapa memerhatikanku?’. Sedetik kemudian kepalaku menjawab dengan bergeleng tanpa keinginan menatap sosok di hadapan. Tanganku memegang erat pinggiran wastafel dengan batin yang mencoba untuk sedikit menguatkan pikiran agar berani membuka mata.


Ada beberapa hal yang membuatku ketakutan jika menatap sosok di hadapanku. Selama ini tak pernah kudapati sosok itu tampak begitu kumal layaknya seorang gelandangan. Lirikanku tertuju pada mahkota hitam di atas kepala. ‘Ih.’ Lirihan itu terucap pelan dalam batin namun mampu membuatku bergidik jika terbayang seperti apa berantakannya rambut itu. Rasanya seperti melihat sarang burung yang terbuat dari ijuk.

Ada tatapan seperti tersakiti di sana, tepat setelah aku menatap lekat rambut hingga bergidik. Kembali aku menutup kedua mata. ‘Ini tak lazim,’ ucapku pelan seketika kuketahui pandangan mulai gelap. Memang, setiap pagi aku selalu menemukan tatapan lembut seperti belaian angin pantai di musim panas. Meneduhkan. Lalu apa yang kudapati sekarang? Satu tatapan penuh kemarahan seolah kedua bola matanya dipaksa untuk memancarkan daya pandang selama berbulan-bulan.

Jemariku melepas pegangan mencoba mencari-cari di mana sumber air. ‘Mungkin tatapan itu akan hilang jika kusiram,’ batinku meyakinkan. Kuputar kran cepat-cepat hingga bisa kudengar laju air hendak keluar. Air mulai keluar dalam jumlah banyak, kuhimpun di telapak tangan dengan posisi seperti sedang merapal do’a. ‘Tiga … Dua … Satu …’ Ada percikan air di wajahnya serta kedua mata yang tampak mengerjap. ‘Tampaknya sukses,’ ujar batinku senang. Aku paling tidak bisa jika menerima tatapan penuh amarah tanpa kata-kata, apalagi dari sosok seperti gelandangan.

Kadar kekumalannya jelas terlihat dari kulit yang tampak sangat licin dan mengilat dengan beberapa tonjolan kecil tersebar di permukaannya. Jika aku bertanya apa tonjolan itu kepada adik bungsuku yang notabene masih dalam pubertas pasti semangat menjawab. Pikiranku mulai membayangkan tawa yang menggelegak darinya ketika mengatakan kata jerawat seraya menunjuk sosok di hadapanku.

Kugelengkan kepala berharap agar bayangan adikku tadi tidak sampai diterka oleh mata batin si pemilik jerawat di depanku. Jika itu terjadi, mata yang kini kelopaknya sedang sedikit legam mungkin akan diikuti tatapn penuh amarah dengan urat-urat berwarna merah. Kepalaku terhenti dengan mata kembali terpejam menghindari tatapannya. Tapi di sudut hati kecilku ada suatu panggilan agar mencoba untuk meluruhkan ketakutan akan dirinya.

Kini aku beranikan diri menetapnya tanpa gunjingan berisi penilaian seenak jidat. Apa yang sedang kulihat saat ini berbeda 360 derajat, tak ada lagi tatapan penuh amarah di sana. Sosok itu berubah sendu, tak tampak adanya tenaga. Rasanya seperti kulihat sesosok mayat hidup dalam serial The Walking Dead yang biasa kutonton setiap Minggu malam.

Aku coba mengendalikan fokus penglihatan pada sosok di hadapan. Rambutnya masih tetap sama seperti biasa kita melihat sebuah sarang burung namun berbahan ijuk. Warna hitamnya agak mulai terlihat kusam dan tidak mengilat seperti biasa kulihat di hari-hari lain. Mata itu semakin terlihat sayu. Legam di kelopaknya kian memperparah situasi. Tak ada lagi tatapan penuh amarah apalagi tatapan penuh kelembutan. Semua hilang perlahan.

Tonjolan-tonjolan kecil di permukaan kulitnya tidak terlalu besar juga tidak dalam bentuk yang sangat kecil. Aku hanya yakin bahwa tonjolan itu sudah memberikan kesakitan lumayan. Hal itu tampak dari beberapa tonjolan ada berwarna lebih gelap dari kulitnya. Warna kulit kecokelatan kebanggaannya kini bahkan terlihat sangat pucat. Tiada pigmen warna seperti biasanya, seolah semuanya menghilang bertransformasi menjadi pigmen putih pucat. ‘Kenapa?’ Lirihku.

Hening.

Aku tertunduk sejenak hingga bisa kulihat air yang berputar seperti puting beliung dihisap oleh saringan pembuangan wastafel. Aku sedikit bertanya dalam hati tentang siapa sosok yang sedang berhadapan denganku. Degup jantungku kian kencang dan tak beraturan hingga bisa kurasakan aliran darah melaju cepat. Aku tak pernah mengenal sosok itu. Dia bukan sosok yang biasa aku temui dalam keseharianku selama ini. Tanganku kini bergerak ke arah dada berusaha menggenggam jantung yang sedang berdetak sangat kencang.

Wajahku perlahan kembali terangkat rasa penasaran untuk mengenali sosok di hadapan. Aku mencoba berjalan mundur ke belakang dan melihat dari kejauhan. Bersandar di pintu kaca tempatku biasa mandi dari shower, aku mulai menyipitkan mata. Lamat-lamat bisa kulihat tak hanya kulit wajahnya yang kian memucat tapi juga kedua lengannya. Bibirnya yang biasa kulihat segar dan selalu menyunggingkan senyum kini tak demikian. Kembali, pigmen putih mendominasi. Senyuman miliknya hilang hari ini, hanya ada sendu yang tersirat dari lengkung bibirnya. Ada pilu dalam dadaku.

Pakaian yang dikenakannya nampak sangat lusuh dan kusam. Aku taksir pemakaiannya mungkin lebih dari tiga hari, tidak, rasanya lebih bari dua minggu. Ada noda teh di lengan kirinya. Motif garis-garis tipis di pakaian itu kian menghilang, tidak pasti apakah usia pakaiannya atau karena belum pernah dicuci selama pemakaian sekarang.

Bruk!

Sosok itu kini terduduk di lantai. Ada ragam perlengkapan mandi terserak di lantai mengelilingi sosok itu. Tangan kanannya menggenggam handuk merah bata disertai dengan handuk-handuk warna lain serta rak yang menahannya. Kini aku tak bisa melihat sosoknya dengan jelas, semuanya mulai samar-samar. Sosoknya perlahan hilang dari pandanganku yang mulai gelap. Ada suara gedoran di pintu kamar mandi dengan teriakan wanita di sana.

Brak!

Kini aku mulai mendengar derit engsel pintu yang mungkin dibuka paksa dengan dobrakan. Aku terhuyung ke lantai tanpa perlawanan. Tapi batinku masih saja berusaha untuk menjaga kesadaran. Mataku mulai mencari sosok-sosok yang suaranya riuh di kamar mandi. Kufokuskan pendengaran untuk mengenali siapa saja yang mengelilingu berharap sosok sendu itu ada dan berkenan untuk memaafkanku.

“Abang kenapa?! Kan sudah adek bilang supaya istirahat dan minum yang banyak!” teriakan itu diikuti isak tangis milik seorang gadis kecil. “Adek tahu abang sangat menginginkan proyek itu goal. Tapi tidak dengan memforsir staminanya juga,” lanjutnya.

“Kamu harusnya bisa membagi waktu Mar! Papa tahu kalau kamu sangat ingin agar proyekmu bisa diterima tim kreatif,” kalimat itu mengalun lirih di pendengaranku.

“Adek daritadi bingung dan panik,” tangisnya kian tersedu. “Abang sebenarnya lagi ngomong sama siapa di kamar mandi. Abang kan sendirian ke kamar mandi setelah tiga minggu mengerjakan proyek yang dikasih papa,” lanjutnya.


Aku mencoba tersenyum meski tak bisa kulihat sosok di hadapanku. Penglihatanku mulai gelap dengan pendengaran yang makin hilang. Tak ada yang bisa kukenali sosok orang-orang di sekitarku. Hatiku masih bertanya siapa sosok yang sedari tadi berhadapan denganku. Batinku melirih, maaf Mar.

10 comments:

  1. aktifitas >> aktivitas

    jelasinlah istilahnya itu :
    Nocturnal adalah istilah atau sebutan untuk mahluk yang melakukan aktivitas pada malam hari...dan sebaliknya pada siang hari mereka tertidur atau sama sekali tidak melakukan aktivitas.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihihi.... betulnya ternyata memang aktif dan aktivitas. Kaidah yang benar (menurut sumber kemendikbud) dalam mengambil kata serapan dari bahasa asing (dalam hal ini adalah imbuhan berbahasa asing -ity) adalah dengan serta merta membawa kata dasar berikut imbuhannya. University = universitas, atau effectivity = efektivitas.
      ---
      sementara untuk kata yang sesuai KBBI nya mungkin adalah keaktifan. itu agaknya juga dibenarkan. ^_^

      Delete
  2. Musti dibaca ulang! Terlalu panjang buat pikiran pendekku! :-)

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihihi... pertama kali kubaca beberapa tulisannya dulu, aku banyak sekali harus membaca ulang tulisannya. Tapi belakangan ini, tulisannya sudah mulai terasa mendingan... bisa diringankan bobot tiap kalimatnya, dan mau bersabar menggunakan analoginya. ^__^ jadi ingat itu...

      Delete
    2. memang bukan flash fiction sih ini :)
      sekedar melanjutkan naskah yang masih banyak tanda tanyanya :)

      Delete
  3. ::: Rupanya hasil perjudianku beberapa malam harus ditebus dengan turunnya kadar ketampanan.:::
    widih... bahasanya cadas!!! kok bisa jadi penuh indra tentang pertaruhan dan pertarungan yang berbanding lurus dengan nilai acuh tak acuh. ^_^

    ::: Tanganku memegang erat pinggiran wastafel dengan batin yang mencoba untuk sedikit menguatkan pikiran agar berani membuka mata.:::
    Kalimat ini panjang dan memiliki serangkaian kegiatan sekaligus dramatisme. Tapi keren juga hasilnya... Membantu membayangkan sekaligus mengoyak empati.

    ::: Rasanya seperti melihat sarang burung yang terbuat dari ijuk.:::
    Rasanya seperti ketika sedang melihat sarang burung dari ijuk. Hihi, maaf kalau aku iseng mengganti kalimat ini. Soalnya, kesetaraan antara "rasanya" dan "melihat" itu agaknya tidak sama. Jadi boleh dunk, ditambahkan.

    ::: Satu tatapan penuh kemarahan seolah kedua bola matanya dipaksa untuk memancarkan daya pandang selama berbulan-bulan.:::
    penggunaan kata seolahnya okeh banget nih... again, dramatis dan bikin ikut bergidik... ^_^

    ::: Tapi di sudut hati kecilku ada suatu panggilan agar mencoba untuk meluruhkan ketakutan akan dirinya.:::
    Pintar sekali... narasi deskripsinya bikin aku terbawa suasana... entah berapa paragraf aku sampai tak berkomentar.. karena memang alurnya hidup dan aku penasaran dengan lanjutannya. ^_^

    Tapi secara keseluruhan... memang pasti ada yang rancu dengan mana tokohnya, siapa saja tokohnya, dan siapa "aku" nya... ini yang membutuhkan ekstra kerja keras untuk mau menenggelamkan diri pada tuturan deskripsinya satu demi satu paragraf.. dan itu yang mungkin seseorang yang lain butuh membacanya ulang lagi. ^_^d.
    mantap sekali.
    kerja keras dari sebuah teknik deskripsi yang berbuah manis.
    Lanjut... jalan masih panjang, bukan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya, masih panjang juga untuk bisa nutupin semua pertanyaan soal si Boy atau Roman :D

      Delete
  4. Replies
    1. iya, nanti tak kabarn si Boy supaya lebih banyak istirahat :D

      Delete
  5. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete