Langit
hari ini cerah. Sesekali biru, tak jarang pula terlihat pucat seolah tiada
gairah. Cuaca yang hadir juga tak mau kalah. Sesekali sejuk, tak ketinggalan
pula panas terik mendera. Tiga tegukan air mineral dari tumblerku ini meluncur
deras seperti seorang anak main perosotan di Atlantis. Segar.
Jalanan
terkadang lengang tanpa kendaraan. Nikmatnya pandangan seperti ini. Suasana
teduh nan lengang memang sudah mulai jarang di kota ini. Kendaraan bermotor
beserta embel-embelnya lebih sering nampak. Ragam polusi kini jadi hal lumrah.
Teduh sudah jadi barang langka yang dicari tiap orang.
Angkutan
yang kutumpangi melaju cepat membawaku meninggalkan bayangan di belakang. Hari
ini memang aku sengaja tidak membawa serta Fida jalan-jalan. Bukan tanpa alasan,
beberapa adikku nun jauh di sana sesekali menyerangku dengan kalimat bernada
cemburu. Aku hanya tertawa renyah ketika kalimat-kalimat itu terlontar.
“Uhuk…
Uhuk…”
Pria
paruh baya di depanku mulai terbatuk-batuk. Kepulan asap dari rokok milik
remaja tanggung di sebelah kiriku mulai agresif. Kubuka jendela di belakangku
lebar-lebar berharap angin segar bisa membawa pergi asap penuh racun. Untung
tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Alih-alih mendapat udara segar,
beberapa motor melaju cepat dengan knalpot melambaikan asap tanpa komando.
“Dek,
bisa matikan rokoknya tidak?” seru seorang ibu dengan membekap mulut dan hidung
anaknya.
Tak
ada respon dari remaja sebelahku. Aku sendiri hanya memicingkan mata member pandangan
sinis padanya. Malas rasanya jika harus berujung adu mulut. Pria paruh baya
tadi masih terbatuk hingga semua penumpang melempar pandangan kesal ke
sebelahku.
“Ma…
Bauuuuu…” adik kecil ujung kanan merengek sambil berusaha menghirup nafas.
Kubuka
ritsleting tas kumal yang sedari tadi didekap. Tanganku masuk sedalam mungkin
mencari-cari sesuatu. “Duh, dimana tadi
aku taruh barang itu?” gumamku kesal dalam hati. Susah payah tanganku
mengaduk isi tas. Setelah perjuangan lumayan akhirnya kuangkat tanganku beserta
dua masker.
“Dianggo,
Pak. Ayeuna mah polusi dimana-mana,” kusodorkan masker di tangan pada pria di
depanku.
“Nuhun,
Cep.”
Satu
senyuman tersungging manis di wajahnya diikuti rapalan do’a dengan bahasa Sunda.
Sosoknya yang cukup parlente dengan batik mega mendung berwarna cokelat
mengingatkanku pada almarhum kakek. Lengannya terbungkus rapi dengan hiasan jam
tangan kuning keemasan. Peci hitam yang masih mengkilat menambah kesan wibawa
padanya.
Kucondongkan
badan ke kanan dengan masker di ujung jemari pada adik kecil yang sempat
kesusahan bernafas.
“Ini
dipake maskernya. Biar adeknya bisa bernafas lebih enak.”
Sang
ibu menerima dan tanpa pikir panjang langsung memakaikannya.
“Bilang
makasih sama kakaknya ayo.”
“Makasih,
Kak.”
Wajahnya
memerah seketika. Rasanya memang lucu melihat anak kecil malu-malu untuk
berbicara dengan orang tak dikenalnya. Sang ibu masih agak kesal dengan sikap
remaja sebelahku yang masih saja
melemparkan asap rokok bahkan sampai iseng membentuk lingkaran.
“Merokok
emang hak kalian yang doyan. Tapi asapnya jangan kasih ke kita, telen aja
sendiri!”
Aku
tersentak karena ibu tersebut berbicara dengan lantang dan nada tinggi. Tapi
itulah insting seorang ibu. Tak lama berselang, remaja sebelahku turun dari
angkutan sambil menatap kesal pada si ibu. Kami semua bernafas lega seolah
selesai menonton film dengan adegan menegangkan.
Sepuluh
menit berlalu sejak si perokok turun. Ibu dan adik kecil tadi pun turun di
gerbang komplek yang lumayan megah. Kuperhatikan sekeliling hingga tak sadar
kalo ternyata adik kecil tadi melambai tangan berkali-kali seolah kami sudah
saling kenal. Kulempar senyum padanya seraya bergumam pelan, “da dah”.
“Tahan!
Tahan!”
Suara
dari luar mobil lumayan kencang diikuti derapan langkah kaki berlari. Pak supir
pun reflex menginjak pedal membuat si mobil tunduk untuk berhenti pada suara
tadi.
Drap…
Drap… Drap…
Langkah
kaki itu mendekat dan tergesa-gesa seolah hendak mengejar sesuatu. Si penumpang
naik dan sambil malu-malu menganggukkan kepala sambil meminta maaf pada
penumpang lain karena membuat tak nyaman.
“Punten,
punten.”
Aku
masih melongok keluar jendela. Ada sesuatu yang sedang kucari. Warna kuning
kemasan layaknya jam pria di depanku mulai merambat turun. Perlahan tapi pasti,
tiap benda yang dikenai mulai tampil berbeda. Dinding-dinding rumah mulai
terlihat elegan. Ini senja!
Senyumku
berkembang, langit terang dan cerah daritadi siang memang menandakan kalau hari
ini bakal dihiasi senja di penghujung hari. Pandanganku tak henti mencari-cari.
Sesekali kukeluarkan wajah dari jendela sekedar melihat langit apakah ada
gugusan awan indah berwarna oranye menghiasi langit. Kuputar persendian leher
dari kiri ke kanan.
“Husen
aya? Husen?” Tanya pak supir yang kebetulan sedang berhenti di lampu merah
Beberapa
penumpang turun seketika termasuk pria paruh baya di depanku. Lokasi ini memang
seringkali jadi tempat orang berganti angkutan karena mulai mengerucut.
Sejenak
menuju penghujung hari. Perempuan di sebelahku yang baru saja naik dari
komplek tadi sedang asyik memainkan kabel yang menjuntai di depan wajahnya.
Sesekali kucuri pandang wajah yang lembut diterpa warna matahari sore. Hangat.
Kendaraan
mulai berkurang. Jalanan kembali lengang. Sayup-sayup suara dari kejauhan hanya
lantunan tilawah ataupun pepujian menjelang maghrib. Jane Doe ini sedang
menikmati alunan nada yang mengalun di kedua telinganya. Kali ini tangan kanan
menopang dagu lancipnya, sedangkan tangan kiri memegang erat ponsel.
Ujung
sepatunya menghentak sesekali membuat irama yang rasanya aku kenal. Tersungging
sebuah senyum di wajahnya kali ini. Senyuman yang mewakili suasana hati serta
alunan indah di dunianya.
“Em…
Anu, Father & Mother juga ya mbaknya?” tanyaku yang tanpa pikir panjang.
“Lho?!
Tau Misuchiru juga?!” jawabnya dengan wajah kaget mendengar pertanyaanku.
“Hehe.
Itu aku lihat layar ponsel mbak.”
Mr. Children – 365 Nichi
Sense
Tulisan
itu tertera di layar ponselnya dengan gambar ekor paus dan semburan air. Aku
tahu betul album itu milik siapa. Pantas hentakan itu aku kenal.
“Aku
pikir ga bakal nemu Father & Mother di kota kayak gini,” ada gelak tawa di
ujung kalimatnya.
“Mungkin
yang saat ini ketemu cuma aku aja, Mbak. Sebenernya banyak juga yang suka sama
Misuchiru. Sayangnya belum pernah ada kopdar kayak Cielers.”
“Hemh.
Iya sih. Misuchiru emang minor kalo di Indonesia. Soalnya pas doi debut album,
itu lagu-lagu Jepang belum nyampe sini.”
Kami
berdua tertawa mengingat fakta bahwa Misuchiru itu udah pada sepuh dan belum
kejamanan buat bisa sampai Indonesia. Alhasil mereka disalip beken sama Laruku
atau Gackt. Tapi bagi kami yang pernah mendengar satu single Misuchiru dan
mengikuti perkembangannya sampai sekarang, menganggap bahwa mereka
sebenar-benarnya J-Pop.
“Oh
iya! Panggil aja Hana.”
Kusambut
tangannya sambil memperkenalkan diri, “Arai.”
Wajahnya
heran dengan nama yang kuberikan. Aku memakluminya karena reaksi setiap orang
sama dengannya.
“Jadi?
Kenapa bisa sampai suka banget sama Misuchiru? Terus dari kapan?” pertanyaannya
serasa senapan mesin menghujam badanku.
“Gara-gara
Tomorrow Never Knows!” jawabku cepat .
“Wah
berarti udah lama banget dong kenal sama Misuchiru? Aku sih gak selama itu
taunya. Hanabi yang bikin aku nyari tau soal Misuchiru. Hasilnya ya ini,”
pandangannya mengarah ke ponsel yang playlistnya dipenuhi Misuchiru.
“Keren!
Aku aja ga semuanya punya.”
“Hehehe.
Aku lagi beruntung aja. So? Apa yang bikin Tomorrow Never Knows berkesan?”
tanyanya hati-hati.
Berpikir
sejenak mengumpulkan kata-kata menjadi alasan sambil kulipat tangan di dada.
“Serius
amat, Rai?”
“Hemh.
Lagu itu aku denger gak sengaja pas mau masuk kelas 3 SMA. Kan bingung tuh!
Udah mesti punya cita-cita yang beneran bisa bikin kita jadi apa nantinya.”
Wajahnya
berubah serius ketika mendengar penjelasanku.
“Lalu?
Lalu? Liriknya kan bukan itu sebenernya?” dia mulai meragukan kapasitasku.
“Iya.
Bagian soal cita-cita emang dikit. Tapi, kamu tau ga sih kalo Misuchiru itu
pinter banget buat bikin komposisi dan mainin tone sampe emosinya kerasa banget
kalo lagu itu bener-bener haru? Bahkan kita yang tau Misuchiru bakal tau lagu
itu sedih, seneng, marah atau kecewa cuma karena aransemennya. Yak an?”
Hana
cuma mengangguk pelan pertanda setuju. Wajahnya mulai menganalisa dan bertanya
ada apa dengan kelas 3 SMA milikku.
“Lagu
itu aku denger gak sengaja pas pindahin stasiun radio. Berharap Laruku, aku
malah dapet lagu yang aku buta sama sekali. Karena enak, akhirnya aku dengerin
sampe tuntas dan dengerin reviewnya dari si penyiar. Begitu tau judulnya
Tomorrow Never Knows, aku langsung telpon kakak kelasku yang freak abis sama
Jepang buat kirimin mp3nya via e-mail. Pas dapet konfirmasi kalo lagunya udah
dikirim, aku puter semalam suntuk sampai aku bener-bener tidur karena lagu itu.”
Kulihat
perhentianku kian dekat. Aku sedikit bergegas untuk siap turun. Hana nampaknya
tahu kalau aku harus turun. Aku kaget. Dia pun bergegas merapikan tas dan jaket
denimnya. Gerak-geriknya meyakinkanku kalau dia masih ingin mengetahui apa yang
ada dalam pikiranku soal Misuchiru. Maka aku putuskan untuk berhenti di Pura,
lokasi paling ujung untuk berhenti dan melanjutkan ceritaku.
“Penasaran
ya? Intinya gini. Tomorrow Never Knows yang aku dengerin sepanjang malam sampai
aku pindahkan ke Motorola ROKR E1 itu bikin aku mikir berat dan serius. Hari
ini aku kelas 3 SMA, IPA. Lalu apa yang bakal aku perjuangkan buat selulus SMA?
Apa sebenernya cita-citaku? Aku cuma bisa bilang
dalam hati kalo Allah sudah persiapkan rencana yang teramat sangat matang dan
pas buatku. Sesempurna apa pun rencana milikku. I’m a part of God’s plan. Aku
takkan pernah tau esok bakal seperti apa. Apakah itu sesuai atau tidak. Tapi
aku memilih untuk let it flow dengan rencana-Nya.”
Kuteguk
sisa air di tumblerku. Capek rasanya mesti bercerita panjang di angkutan umum.
Tapi perempuanku di sebelahku ini semakin berbinar-binar. Dia seperti menemukan
sebuah mutiara paling indah di dasar lautan. Bibirnya merekah mengukir senyum
memoles wajah yang dijatuhi remang-remang lampu jalanan.
Obrolan
kami berlanjut sampai dia bercerita tentang kenapa akhirnya sampai jatuh hati
pada Sakurai dkk. Hanabi yang dia dengarkan pertama kali memang diikuti dengan
menonton Code Blue. Bagaimana dia begitu menghargai orang lain setelah menonton
dorama tersebut. Baginya, kutipan Aizawa yang mengatakan kalau dalam dunia
kedokteran tidak ada keajaiban adalah paling berkesan.
Ibunya
yang direnggut kanker membuatnya sempat membenci mereka yang berprofesi dokter.
Kekeraskepalaannya itu pernah berujung opname karena tifus. Setelah sembuh pun
dia tak pernah mau mengakui betapa dokter berusaha sekuat tenaga untuk bisa
mengembalikannya ke kondisi semula.
Code
Blue juga Misuchiru kini telah mengubah pribadinya yang keras menjadi lebih
terbuka. Alunan lagu 365 nichi, Hanabi serta Kimi ga Ita Natsu adalah favorit
dalam playlistnya. Hana, perempuan yang baru aku kenal dua puluh menit lalu ini
ternyata punya ikatan kuat tentang Misuchiru. Usianya yang lebih muda dariku
membuatnya memanggil akang.
“Kakang,
Hana duluan ya! Nanti Hana kontak via email. Seneng deh punya temen ngobrolin
Misuchiru juga dorama. Salamu’alaikum”
Kalimat
itu mengakhiri perjumpaan dan dialog kami sore tadi. Hanya dua puluh menit tapi
sangat berarti. Perjalananku yang tanpa arah tadi ternyata mengarah pada hal
yang indah. Baagaimana dunia dan seisinya berputar. Bagaimana Tuhan Maha Kuasa
atas bumi dan seisinya. Betapa indahnya rencana Tuhan mempertemukan dua orang
asing karena lagu.
Ah
tak ada yang lebih berharga sebuah obrolan penuh makna. Ponsel kunyalakan,
kubuka aplikasi whatsapp. Kujelajahi daftar nama hingga berhenti.
sehat kan?
20:29
tibatiba
inget uwin 20:29
J 20:29
gara2nya gak
sengaja lihat orang di angkot pake headphone, pas lihat playlistnya Mr.
Children 20:30
inget setaun
lalu uwinnya diracunin Mr Children 20:30
[SENT]
Hari
ini aku bahagia, rinduku pada beberapa orang membuncah seketika setelah
pertemuanku dengan Hana. Tuhan, terima kasih atas rindu yang kau berikan
untukku pada tiap orang.
dimana-mana bisa ngomong kayak gini :)
ReplyDeleteah. itu mah kebiasaan banyak omong aja. :|
DeleteAbangnya adek keren lah...
DeleteKangen jugaaaaaaa! #malahikutancurcol
aku udah baca. dan seperti biasanya, kalo udah baca blog punya orang dan isinya keren aku pasti merasa aku ini ngga ada apa2nya bang. blogku dengan blog kalian jauuuuuuuhhh kualitasnya. hadeeuuuhh. hehehe
ReplyDeletemaap jadinya malah curcol bang :D
punyaku yang ini juga susah payah euy buat balikin bahasanya. :|
Deletebutuh beberapa jam, eh semalaman. #curcol
---
ReplyDelete::: Tiga tegukan air mineral dari tumblerku ini meluncur deras seperti seorang anak main perosotan di Atlantis.
--- Aku selalu suka bentuk perumpamaan yang seperti ini. Biasanya jika itu benda mati, dijadikan makhluk sebagai perumpamaan yang bisa mendramatisir suasana atau arti kata sifat itu sendiri. Yaitu : segar. ^^
::: Ragam polusi kini jadi hal lumrah. Teduh sudah jadi barang langka yang dicari tiap orang.:::
--- Agak timpang dengan barisan paragraph sebelumnya yang sempat klimaks oleh perumpamaan yang dramatis, kalimat ini jadi seperti antiklimaks yang lebih menjadikan denotasi sebagai deskripsi tambahan.
::: … sesekali menyerangku dengan kalimat bernada cemburu. Aku hanya tertawa renyah … :::
--- sebuah ciri yang sepertinya menempel pada karakter penulis yang terlalu sederhana menyikapi serangan dan tanda tanya dari orang sekitar. Hehe…
::: Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Alih-alih mendapat udara segar, beberapa motor melaju cepat dengan knalpot melambaikan asap … :::
--- Hahaha, kalimat ini bisa dibayangkan efek kesal yang bertumbuhnya. Dimulai dari tanda tanya tentang kepulan rokok yang seperti apa yang agresif, tapi seperti terklimakskan oleh knalpot yang pasti lebih keji lagi yah.
::: “Ma… Bauuuuu…” adik kecil ujung kanan merengek … :::
--- ini melambangkan keluguan yang sederhana dan apa adanya kanak-kanak. Tapi kalimat ini rasanya lebih menarik jika tidak dilanjutkan tindakannya menghirup udara. Bagaimanapun, lugu selalu terpotong tanpa alasan dan maksud khusus.
::: “Duh, dimana tadi aku taruh barang itu?” :::
--- sebuah sikap dan gesture yang menggambarkan sisi maskulinitas, ceroboh lalu kesal. Sebuah cara bergumam dalam hati yang bisa ditambahkan dengan memancing reaksi penumpang duduk di sebelah-sebelahnya. ^^
::: Kesan wibawa padanya :::
--- pemilihan kata-kata ini sepertinya menjadi penutup kalimat yang sudah melembut dan melunak. Untuk memberi jeda berikutnya agar aku yang membaca, bisa sejenak menelaah cara pandang sosok “aku” pada detil individu di dekatnya.
::: Kami semua bernafas lega seolah selesai menonton film dengan adegan menegangkan :::
--- Keduanya adalah perasaan yang sama dan setara. Lega dan melepas ketegangan. Tapi agaknya masih jadi kalimat yang tanggung untuk dicerna sebagai perumpamaan yang sama. Karena bersifat lebih pada narasi sebab akibat daripada dua perumpamaan.
::: Ini senja! :::
--- tidak banyak yang penulis deskripsikan tentang senja di sini. Tapi caranya merangkum warna keemasan yang merambat dari jam tangan sang pria, bisa jadi gagasan yang memperkaya penginderaan bahwa senja bisa digambarkan dari pantulan sikap dan bahasa tubuh sekeliling. Brilian
ah. akhirnya setelah lama menanti ada juga ulasan dari wiedesignarch. :D
ReplyDeletemenyenangkan rasanya bisa mendapati akun wiedesignarch di laman ini. :D
Tau nggak mang? Nisa suka banget sama sesuatu yang berbau-bau analogi.. daaaaan I love rhymes! Nisa suka banget nulis gagasan bahkan hal remeh temen sekalipun dengan rima. It's kinda fun to stop and think in every phrase we made cuma untuk menimbang-nimbang diksi yang tepat untuk mengakhiri frase-frase yang dibuat. Hahaa, jiwa melayu mungkin. Tapi, coba aja, sesuatu yang berrima akan lebih menyenangkan dan gampang diterima untuk dibaca berulang (ini juga mungkin alasannya kenapa bisa ada manusia yang menghapal quran yang tebelnya ga main-main sepersis-persis aslinya tapi nggak ada yang mau repot-repot menghapal jurnal ilmiah tipis tanpa ada salah satu kata pun, karena apaaa? *nyodorin mic* quran is full of rhyme, meaningful yet still beautiful, Tuhan kita memang sehebat-hebatnya pujangga ya). Nah, nah, baca tulisan mamang ini, di awal-awal aja Nisa udah disuguhin analogi dan kalimat-kalimat berrima, bikin tambah betah bacanya, hohoo. Selain itu, Nisa suka kemampuan mamang mengubah sesuatu sesederhana makan bandros pagi hari atau obrolan tanpa sengaja sore hari menjadi hal bermakna penentram hati, seolah-olah ngajak yang baca meresapi lagi hal-hal yang dia lalui yang luput dia syukuri. Hehee :3 Lanjutkanlah berkarya mang! :3 Kalo sukses yaaa.. inget-inget lah ya sama ponakan :3
ReplyDeletenisa! ponakanku sayang!
Deleteterima kasih sudah mampir dimari! :)
makasih buat apresiasinya ya. :D
insyaallah gak bakal lupa sama nisa mah. ;)
hihihihi....
Deletenisa pasti tak akan dilupakan...
mana ada paman yang lupa sama keponakannya yang serba bisa... ^__^d..
#nimbrung
sebenernya gampang aja sih ngelupain nisa mah, tinggal delet nomer hape beserta semua keangkuhannya tentang kecantikan serta kelangsingan :D
Deletehihihihi... jangan atuh.... kesian ih...
Deletelagian kan Nisa bakal jadi guru masak dan merajut.. hihihi
raaaiii baca2 postingmu yg lalu
ReplyDeletemaap yak suka telat mampir
tak apa kak ninda. ;)
Deleteseneng kok dapet apresiasi dari kak ninda, dan makin produktif nampaknya :D
ih... sudah lama juga lho aku gak jenguk blog teh Nina... ^___^ mau ah mampir sekarang ^^d
Delete