Friday 8 February 2013

dialog pagi hari #1

Iseng-iseng nengok ibu yang lagi nengok enin. Sepagi mungkin berangkat ke toko biar ketemu si pahlawan janin. Ada hal yang menggelitik pagi itu. Jarang sekali aku merasakan rona bahagia di wajahku sendiri ketika ibu datang berkunjung. Maklum, perang dingin berlangsung sejak beberapa tahun silam baru leleh di tahun ini. 

Kusambut hangat mentari menyeka wajah penuh senyum hendak bertemu ibu dan enin. Tak ada lelah setelah kayuh sepeda keliling komplek. Semakin cepat kukayuh pedal sepeda jauhkan diri dari rumah. Butuh 20 menit lagi untuk bisa segera sampai, namun butuh keberanian lebih untuk bisa bertatap muka penuh tawa seperti ini. 

Tujuanku mulai terlihat, rumah dengan pagar besi setinggi dada orang dewasa berwarna hijau daun kini di depan mata. Pohon cengkih tua yang menemani cerita keluarga besarku terlihat semakin renta. "Ah, rumah ini. Rasanya sudah kulewati 2 dasawarsa penuh cerita" pikirku. Rolling door keemasan itu mengingatkanku pada peluh almarhum kakek dalam membangun usaha keluarga. 

Sepedaku mulai masuk ke halaman depan. Kulihat susunan batu kali membentuk satu jalan kecil mengarah ke pintu utama. Kudiamkan sepeda berdiri tegak menjadi saksi aku bertemu kedua orang itu dengan senyum merona. Keringat masih bercucuran, pun dengan panas dari tubuh. 

Ibu dan enin sedang asyik berbincang sambil menikmati hangat mentari dengan secangkir minuman di depannya. Tampak dari tempatku berdiri, tawa keduanya membuncah menikmati obrolan pagi. Sadar dengan kehadiranku, enin mulai melempar pandangan dan sebuah gerakan tangan yang memanggil. 

Mulutku bergumam pelan, "i ya . ben tar ma sih ke ri nge tan . ta kut pa da ba u nan ti ." Tak pelak tawa keluar dari ibu, lalu diikuti tawa enin yang khas. "Ah. Indahnya pagi ini ya Rabb," seruku dalam hati. 

Kuseka keringat terakhir dari kening dan leherku, rasanya sudah tak ada lagi sisa. Aku sudah siap bergabung dengan mereka. Kubawakan ulen serta bandros panas dari penjual yang berpapasan saat ku bersepeda. Berjalan pelan menuju arah mereka hingga duduk di lantai sambil buka sepatu. 

"Bawain apa ini? Nasi kuning? Nasi uduk?" sebuah pertanyaan terlontar dari mulut enin yang diikuti rasa penasaran sambil membuka goodie bag yang kubawa. 

"Apa hayooo? Penasaran kaaaan?" kutimpali sambil bercanda dengan seruputan teh hangat dari cangkir ibu 

"Ih. Ini mah kalakah ngaheureuyan enin!" sergah ibu sambil cubit lenganku yang main seruput teh miliknya dibarengi tawa. 

Tampak wajah enin mulai senyum lepas dan lega karena rasa penasarannya hilang. "Ini ulen sama bandros darimana? Masih anget gini." 

Kukeluarkan makanan dari tasku ke atas piring yang dibawa ibu. Ulen dan bandros panas ini merayu kami untuk segera memakan. Tak ada yang spesial memang dari makanan ini. Tak ada rasa beragam seperti makanan tradisional sekarang yang sudah mengalami banyak modifikasi sebagai contoh surabi. Tapi rasa hangat keluarga yang paling istimewa dibalut indahnya jalinan kunjungan. Aku mengunjungi ibuku dan ibu mengunjungi nenekku. Tautan berwarna dimana anak menengok orang tuanya. 

Kami bertiga melahap hidangan sederhana sarat rasa diiringi canda tawa. Senang rasanya menemukan keadaan seperti ini kembali. Ibu pamit sebentar ke rumah seolah hendak membawa sesuatu. Benar saja, beliau kembali dengan menggenggam ponsel almarhum adikku sambil ibu jarinya memainkan keypad. Mungkin sms saudaranya yang lain, hendak mengabari bahwa dirinya sedang dilanda bahagia tak terperi. 

Kembali ibu terduduk di antara aku dan enin sambil meminta tolong dicarikan kontak abi. "Ka, cobi pangmilarikeun nami papa." 

Sontak aku cepat mengambil alih kendali ponsel almarhum adik mencari nama abi. "Ini bu. Ketemu mau ngapain?" 

Selang waktu tampak ibu menjawab salam dan mulai bertanya kabar abi. Obrolan asyik nampaknya terjalin antara mereka berdua. Sambil sesekali ibu tertawa dan senyum merona. 

"Halo! Halo! Assalamu'alaikum! Katanya lagi pada ngopi ulen sama bandros ya? Gak bagi-bagi euy!" 

Aku terperangah karena tak menyangka ibu akan pasang mode loud speaker. Enin yang terhenyak juga akhirnya sedikit tertawa karena tiba-tiba suara abi terdengar lantang. 

"Iya. Sini atuh jangan kerja melulu," jawab enin dengan cepat seraya melahap satu ulen dengan cepat. 

"Oh iya bu, punten ga bisa ditinggal kerjaannya. Lagian kan udah diwakilin sama Nunu Junior," timpal abi dengan tawa renyah menyusul. 

"Iya teu nanaon. Abu juga udah seneng banget bisa kumpul pagi kayak gini sambil ngobrol dan ngopi ulen," enin mulai menyebut dirinya abu, panggilan semua anaknya. 

"Iya atuh wilujeng barang tuang. Ngiring raos," nada kalem abi mulai muncul. 

"Ini abu dibikinin bros sama si nyai, lucu bentuknya. Modalin atuh biar bisa usaha, lumayan kan ada tambahan pemasukan sambil berdayain ibu-ibu karang taruna," sifat keibuannya mulai keluar. Nasehat seperti ini yang sering dirindukan ibuku. Support penuh tanpa henti. 

"Warna apa bu? Si kaka dibuatin juga gak?" tanya abi. 

"Warna pink, Bi. Kaka mah ga dibuatin euy, yang dibuatin mah si nyonyah," sambil tertawa aku jawab.

"Kabogoh teh suka warna apa, Ka?" tanya ibu singkat. 

"Merah, Bu." 

"Wah, merah mah atuh orangnya gampang ngambek? Gak cocok atuh sama Oni yang juga gampang marah," enin jawab cepat sambil tertawa menunjukkan bahwa beliau bahagia san bercanda. 

Aku, ibu dan abi dibuatnya tertawa lepas. "Abu mah bisa aja nyambunginnya. Tak apa bu kalo pun pasangannya gampang ngambek, itu artinya Allah lagi ngajarin si kaka supaya bisa lebih ngertiin orang, bisa lebih bersabar dari sebelumnya dan memang harusnya dia bisa lebih mengontrol emosinya. Tenang, Bu. Gak usah kuatir, si kaka pasti bisa." 

Seketika ibu serta enin tampak lega mendengar jawaban abi yang sangat tenang dan penuh pembawaan. Sikap positif abi yang membuatku selalu ingin jadi seperti beliau. "Ah. Rasanya ini pagi yang paling membahagiakan untukku ya rabb." 

Obrolan abi pun berlanjut personal dengan ibu, hanya berdua. Aku masih santap hidangan pagi itu dengan secangkir teh hangat racikan ibu. Tampak mentari semakin meninggi, lelah pun berganti segar. Sudah saatnya aku kembali ke rumah dan bersih-bersih. Kutengadahkan wajahku melawan terik, memejam mata sambil kulayangkan do'a. "Ya rabb terima kasih atas indahnya pagi ini. Aku yakin Engkau siapkan yang terbaik untukku." 

Kubuka mata dan kutatap lekat enin serta ibu. Bahagia rasanya memiliki waktu seperti sekarang ini. Aku bersiap dengan sepatu dan tas. Rumah menantiku dengan satu cerita bahagia. Kukecup tangan mereka bergantian sambil berucap pamit. Kurasakan kening hangat dengan kecupan mereka. Aku berbalik, meninggalkan mereka di belakang dengan satu perasaan bahagia. Kukayuh pedal santai menuju rumah. Hari ini aku bahagia.

No comments:

Post a Comment