Saturday 29 June 2013

dialog malam hari #1

Tak ada yang berubah dari ibukota. Setiap waktunya udara selalu tak bersahabat. Gerah yang teramat sangat sehingga membuat baju dilumuri keringat. Nikmatilah, tak usah repot-repot menggerutu dengan situasinya. Terkadang aku memaki efek udara ibukota. Tapi apa daya? Sudah settingannya seperti ini. Tuhan Maha Kuasa, ditekan dengan temperatur sekian derajat tubuhku beradaptasi dengan sempurna.

Aku tak pernah membayangkan jika tak memiliki pori-pori di permukaan kulit. Mungkin saja badanku memuai seperti ribuan kabel yang menjuntai menghiasi langit kota Jakarta. Bersyukur memang sudah sepatutnya dilakukan, hanya saja aku ingin sekali menikmati malam di ibukota tanpa ada kata gerah.

“Kamu mikirin apa?” tanya Dya padaku.



Tak ada satu pun penjelasan keluar. Bibirku terkunci rapat-rapat. Otakku berhenti memilah kosakata yang beterbangan di langit-langitnya. Pandanganku berlarian tak tentu arah, sesekali horizontal tak jarang pula vertikal. Jemari memainkan gantungan dengan gelisah. Aku tak berpikir untuk menjawab pertanyaan Dya.

“Kamu masih belum punya keputusan soal pembahasan tadi?” Dya bertanya dengan nada sedikit cemas karena belum ada keputusan dariku.

“Aku… Em… Aku gak bisa, Dya. Apa yang tadi kita bicarakan tadi gak akan pernah bisa aku lakukan. Maaf…”

Tak ada respon dari kalimatku tadi. Tidak Dya, tidak juga aku. Kami mematung untuk sepersekian menit. Udara tiba-tiba terasa menyesakkan. Rasanya aku mulai sulit bernafas. Mataku memejam kesal karena mulutku melontarkan jawaban yang bukan milikku, milik hatiku tepatnya.

“Baiklah, kalau begitu aku pulang saja. Pembicaraan kita sudah selesai kan? Kamu udah punya keputusan, pun denganku.”

Aku terhenyak. Pikiranku dibangunkan oleh kalimat Dya sesaat tadi. Tanganku meraih jemarinya, kupegang erat seolah aku tak mau kehilangan. Aku mulai mendengar ramainya stasiun Jatinegara yang penuh sesak. Pandanganku melesat cepat mencari jam besar untuk memastikan kalau aku masih bisa berbicara dengan Dya.

“Tunggu! Masih ada setengah jam lagi. Sebelah sana kosong,” aku menunjuk satu area dekat dengan besi pembatas antara peron dan tempat membeli karcis. “Aku masih ingin berbicara denganmu sebentar lagi.”
Dya hanya tersenyum diikuti anggukan pelan dihiasi senyum kecil pertanda setuju. Kami berjalan menembus keramaian peron yang dijejali perantau ke Timur. Ada bermacam-macam orang di sini. Calon penumpang berpenampilan kelas ekonomi tampak kontras dengan mereka yang parlente seolah telah digariskan di kelas eksekutif. Barang bawaan yang sangat banyak dengan kemasan seadanya kontras jika melihat sebelahnya koper mengkilat nan elegan. Ibukota, engkau menyajikan pemandangan beragam.

“Jadi? Apa topik kita?” Dya bertanya sambil merapikan posisi duduknya.

“Sorry kalau ucapanku tadi buat kamu kecewa.”

Dya melipat wajahnya. Ekspresinya berkata aku malas ngelanjutin omongan tadi.

“Gini lho, Rai. Kalau aku mesti bilang, memang kecewa. Tapi sebaiknya kamu punya topik menarik deh sekarang.”

Tak ada jalan lain, sekarang atau tidak sama sekali.

“Dya, kamu tau karya-karya milik Kahlil Gibran?”

“A bit. Kenapa sama puisinya Kahlil Gibran?” Dya tampak serius dan tertarik dengan pertanyaanku. Wajahnya berkata, ada puisi romantic buatku?

“Sejak dua minggu lalu, karyanya yang berjudul Anakmu Bukanlah Anakmu beterbangan di kepalaku. Setiap kalimatnya membuatku bingung untuk memutuskan.”

Dya tau kemana arah obrolan kami. “Oke. Aku tau ini masih topik yang tadi. Lalu? Apa hubungannya dengan puisi itu?”

“Apa yang ada dalam benakku saat ini adalah keputusan tentang pilihanku ke depan. Kedua orang tuaku tak pernah memiliki persetujuan dengan semua yang sedang aku sukai. Aku tau kalau mereka pada dasarnya khawatir jika anaknya malah merepotkan dunia.”

Dya hanya terdiam. Tak ada reaksi apa pun darinya. Jemarinya asik memainkan botol minuman yang dibelinya sebelum masuk stasiun.

“Ketika aku kebingungan, aku teringat pada Talan yang pernah kamu pinjamkan dan sering kamu banggakan padaku,” lanjutku dengan apresiasi atas buku yang sudah Dya pinjam.

Aku ingat bagaimana pertama kali membaca buku ukuran kecil dua sisi dengan sampul kanguru dan burung hingga tuntas. Talan tak bergeming dengan apa yang dikhawatirkan sang tetua. Dia terus melanjutkan mimpi dan keyakinannya, membuang rasa takut serta ragu yang menghantuinya demi ufuk barat. Eksplorasi berbekal mimpi dan semangat itu pada akhirnya berbuah manis. Talan mengetahui fakta bahwa sang tetua pernah mencapai ujung balahan bumi lainnya. Tapi, bukan Talan yang aku kagumi saat itu.

Adalah Sarah yang membuatku membuka mata pada saat itu juga. Bagaimana Sarah mencoba untuk kembali pada mimpi lamanya hanya karena rengekan sang kakek untuk terakhir kalinya. Namun, keraguan kembali bergelayut. Sarah harus membuang mimpinya kembali pada realitanya sebagai seorang wanita karir ketika sang kakek kritis dalam perjalanan. Tapi tidak dengan kakeknya, dia masih tetap menginginkan Sarah pergi untuk melanjutkan petualangan yang juga miliknya. Pikiran Sarah berkata kalau itu hanya akan menjauhkannya dari sang ayah yang sudah susah payah memberikan kemapanan.

Sarah memang hanya sebuah potret imajinasi dalam satu buku yang bisa sekali baca. Namun, alur cerita perjalanan Sarah yang berliku untuk mendapatkan kembali impiannya meyakinkanku. Buku kecil itu mengingatkanku kembali pada apa yang kini menggelayuti pikiranku. Ada jalan keluar dalam setiap masalah. Ada resiko dalam setiap keputusan.

“Dya, Kahlil Gibran memang bukan gayaku. Tapi seorang paman yang sangat aku hormati menulisnya hingga mudah kubaca dan aku mengerti. Aku memang buah dari pohon bernama orang tua. Tapi bagaimana nasibku nanti bukan kehendak sang pohon. Tuhan sudah mengaturnya.”

Dya hanya tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Aku tau sudah kelewatan menyeretnya pada dunia yang belum dia kenal sepenuhnya. Dukungan Dya selama ini memang tak pernah redup.

“Jangan pernah takut atau ragu untuk melangkah dan menjadi apa nantinya. Karena akan selalu ada do’a terbaik dan tak pernah putus dari orang-orang yang menyayangimu.”

Untaian kata yang diucapkannya membuatku tersentak. Kalimat yang dulu pernah kuucapkan kini menghujam perasaanku lebih dari sebelumnya. Pandanganku mulai kabur. Ada segumpal air di kantung mata yang ingin keluar. Kami berdiri bersamaan dibangunkan pengumuman. Keretaku kian mendekat, hendak membawaku pergi dari ibukota. Lidahku kelu, tak ada yang bisa kuungkapkan lagi.

Keputusan kian bulat, layar sudah terkembang pantang kembali ke daratan. Aku dan kapal mimpiku akan mengarungi lautan takdir tak bertepi. Malam ini jadi saksi, seorang pelaut ulung kehidupan hendak menjemput mimpi menggali makna seiring kereta membawaku pergi dari ibukota.

Dya melambaikan tangan mungilnya ke arahku. Kakinya bergerak maju mengikuti arah keretaku. Aku hanya menatapnya lekat dibatasi kaca jendela. Tanganku hampa tak rasa tidak juga kurasakan nyawa. Rasanya sudah kutumpahkan semua emosi yang ada. Kekalutanku dengan keputusan seperti apa yang harus dibuat kini hilang seketika tertinggal di langit ibukota.

.  .  .

Kau boleh memberi mereka cintamu tetapi bukan pikiranmu
Sebab mereka memiliki pikiran sendiri
Kau bisa memelihara tubuh mereka namun bukan jiwa mereka
Sebab jiwa mereka tinggal di rumah masa depan, yang tak ‘kan bisa kau datang, bahkan dalam mimpimu
Kau boleh berusaha menjadi seperti mereka, namun jangan menjadikan mereka seperti kamu
Sebab kehidupan tidak bergerak mundur dan tidak tinggal bersama hari kemarin
[Kahlil Gibran]

2 comments:

  1. kita tak hendak berpasangan dengan diri kita sendiri begitu kan?

    ReplyDelete
  2. iya, begitulah adanya kak ninda

    ReplyDelete