Friday 17 June 2011

kisah lalu #2

Kutengadahkan wajahku pelan ke arah garuda yang dengan setia tetap menjaga ruangan ini, menemani sepasang singgasana dan sosok hangatku. Dia kaku namun tidak membatu, sayapnya yang dibentang lebar memberi isyarat bahwa dia selalu siap sedia dan begitu tangguh. Perisai yang melindungi jantungnya menandakan bahwa dia berani menahan serangan apa pun untuk melindungi bagian terpenting. Kaki kuatnya mencengkram falsafah yang menjadikannya paling bijak seantero ruangan ini. Setiap harinya dia mengingatkanku untuk selalu menjunjung rasa hormat pada seisi ruangan ini.

Seraya membalikkan badan memunggunginya hatiku bergumam, “bhineka tunggal ika-mu menyadarkanku bahwa aku hanya bagian kecil dari seantero negeri ini, Bung.”



Kulihat jarum jam menunjukan pukul enam kurang seperempat dan pagi masih enggan berikan hangatnya. Rimbun dedaunan di sisi timur masih ingin memberikan kesempatan pada angin dingin kota ini menyapa setiap yang dijumpainya. Kristal air di sudut atas kaca ruanganku berada masih tak mau pergi meski cahaya mentari perlahan mengusir dengan lembut. Tepat di sudut atas kaca arah pukul sembilanku berdiri, tersirat satu jejak manusia berbentuk telapak tangan kanan yang mungil untuk ukuran seumurku. Jejak yangmembuat rasa penasaranku bangun dan ingin mencari tahu siapa gerangan pemiliknya. Sebuah gambaran telapak tangan dengan jari-jemari yang panjang namun tetap mungil.

Tak jauh dari  kaca tempat jejak itu terpatri, ada sepasang singgasana besar nan anggun milik seorang bijak di ruangan ini setiap jamnya. Seseorang yang cukup bijak untuk menceritakan kemegahan dunia dan belahan negeri lain beserta isinya. Seseorang yang cukup tangguh untuk menceritakan kisah heroik di setiap sudut kota tempat perjuangan. Seseorang yang cukup wibawa untuk menceritakan betapa indahnya pegangan hati setiap orang di bumi ini. Seseorang yang selalu kuhormati ketika dia membeberkan setiap kata dalam balutan pengetahuan. Singgasana inilah yang akhirnya memberikanku banyak bekal untuk berkelana menyambut kerasnya bola dunia.

Maka pada singgasana inilah aku berucap, “tanpa kenyamanan yang kau berikan, sudah pasti seseorang itu selalu gusar melihat waktu di tiap detiknya.”
    
      Jarum jam hanya bergeser satu angka saja dari tempat sebelumnya kulihat. Kembali aku menatap menembus kaca ruangan tempatku berdiri. Semuanya masih tetap sama, jalanan masih lengang hanya sesekali kulihat seorang pria paruh baya mencoba mengayuh pedal dengan sisa tenaganya. Tak ada kehangatan dari sekitarnya, mentari masih enggan menyeruak dari balik dedaunan rimbun itu. Mataku mengikuti kemana arah pria paruh baya itu mengayuh hingga menemukan sosok wanita yang menggendong bayi kecil dalam dekapannya. Tangan kanannya memegang tas besar seolah memuat semua perlengkapan untuk dia dan bayinya. Tak sedikit pun kehangatan terpancar dari mentari pagi untuk bayi kecil itu, semuanya masih tetap dingin. Kualihkan pandanganku pada deretan pagar tembok setinggi pinggang orang dewasa yang mulai kusam dimakan usia dan kreatifitas anak muda.

No comments:

Post a Comment