Tuesday 18 June 2013

dialog sore hari #1


Langit hari ini cerah. Sesekali biru, tak jarang pula terlihat pucat seolah tiada gairah. Cuaca yang hadir juga tak mau kalah. Sesekali sejuk, tak ketinggalan pula panas terik mendera. Tiga tegukan air mineral dari tumblerku ini meluncur deras seperti seorang anak main perosotan di Atlantis. Segar.

Jalanan terkadang lengang tanpa kendaraan. Nikmatnya pandangan seperti ini. Suasana teduh nan lengang memang sudah mulai jarang di kota ini. Kendaraan bermotor beserta embel-embelnya lebih sering nampak. Ragam polusi kini jadi hal lumrah. Teduh sudah jadi barang langka yang dicari tiap orang.

Bruuuuuuuum…

Angkutan yang kutumpangi melaju cepat membawaku meninggalkan bayangan di belakang. Hari ini memang aku sengaja tidak membawa serta Fida jalan-jalan. Bukan tanpa alasan, beberapa adikku nun jauh di sana sesekali menyerangku dengan kalimat bernada cemburu. Aku hanya tertawa renyah ketika kalimat-kalimat itu terlontar.

“Uhuk… Uhuk…”

Pria paruh baya di depanku mulai terbatuk-batuk. Kepulan asap dari rokok milik remaja tanggung di sebelah kiriku mulai agresif. Kubuka jendela di belakangku lebar-lebar berharap angin segar bisa membawa pergi asap penuh racun. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Alih-alih mendapat udara segar, beberapa motor melaju cepat dengan knalpot melambaikan asap tanpa komando.

“Dek, bisa matikan rokoknya tidak?” seru seorang ibu dengan membekap mulut dan hidung anaknya.

Tak ada respon dari remaja sebelahku. Aku sendiri hanya memicingkan mata member pandangan sinis padanya. Malas rasanya jika harus berujung adu mulut. Pria paruh baya tadi masih terbatuk hingga semua penumpang melempar pandangan kesal ke sebelahku.

“Ma… Bauuuuu…” adik kecil ujung kanan merengek sambil berusaha menghirup nafas.

Kubuka ritsleting tas kumal yang sedari tadi didekap. Tanganku masuk sedalam mungkin mencari-cari sesuatu. “Duh, dimana tadi aku taruh barang itu?” gumamku kesal dalam hati. Susah payah tanganku mengaduk isi tas. Setelah perjuangan lumayan akhirnya kuangkat tanganku beserta dua masker.

“Dianggo, Pak. Ayeuna mah polusi dimana-mana,” kusodorkan masker di tangan pada pria di depanku.

“Nuhun, Cep.”

Satu senyuman tersungging manis di wajahnya diikuti rapalan do’a dengan bahasa Sunda. Sosoknya yang cukup parlente dengan batik mega mendung berwarna cokelat mengingatkanku pada almarhum kakek. Lengannya terbungkus rapi dengan hiasan jam tangan kuning keemasan. Peci hitam yang masih mengkilat menambah kesan wibawa padanya.

Kucondongkan badan ke kanan dengan masker di ujung jemari pada adik kecil yang sempat kesusahan bernafas.

“Ini dipake maskernya. Biar adeknya bisa bernafas lebih enak.”

Sang ibu menerima dan tanpa pikir panjang langsung memakaikannya.

“Bilang makasih sama kakaknya ayo.”

“Makasih, Kak.”

Wajahnya memerah seketika. Rasanya memang lucu melihat anak kecil malu-malu untuk berbicara dengan orang tak dikenalnya. Sang ibu masih agak kesal dengan sikap remaja sebelahku yang  masih saja melemparkan asap rokok bahkan sampai iseng membentuk lingkaran.

“Merokok emang hak kalian yang doyan. Tapi asapnya jangan kasih ke kita, telen aja sendiri!”

Aku tersentak karena ibu tersebut berbicara dengan lantang dan nada tinggi. Tapi itulah insting seorang ibu. Tak lama berselang, remaja sebelahku turun dari angkutan sambil menatap kesal pada si ibu. Kami semua bernafas lega seolah selesai menonton film dengan adegan menegangkan.

Sepuluh menit berlalu sejak si perokok turun. Ibu dan adik kecil tadi pun turun di gerbang komplek yang lumayan megah. Kuperhatikan sekeliling hingga tak sadar kalo ternyata adik kecil tadi melambai tangan berkali-kali seolah kami sudah saling kenal. Kulempar senyum padanya seraya bergumam pelan, “da dah”.

“Tahan! Tahan!”

Suara dari luar mobil lumayan kencang diikuti derapan langkah kaki berlari. Pak supir pun reflex menginjak pedal membuat si mobil tunduk untuk berhenti pada suara tadi.

Drap… Drap… Drap…

Langkah kaki itu mendekat dan tergesa-gesa seolah hendak mengejar sesuatu. Si penumpang naik dan sambil malu-malu menganggukkan kepala sambil meminta maaf pada penumpang lain karena membuat tak nyaman.

“Punten, punten.”

Aku masih melongok keluar jendela. Ada sesuatu yang sedang kucari. Warna kuning kemasan layaknya jam pria di depanku mulai merambat turun. Perlahan tapi pasti, tiap benda yang dikenai mulai tampil berbeda. Dinding-dinding rumah mulai terlihat elegan. Ini senja!

Senyumku berkembang, langit terang dan cerah daritadi siang memang menandakan kalau hari ini bakal dihiasi senja di penghujung hari. Pandanganku tak henti mencari-cari. Sesekali kukeluarkan wajah dari jendela sekedar melihat langit apakah ada gugusan awan indah berwarna oranye menghiasi langit. Kuputar persendian leher dari kiri ke kanan.

“Husen aya? Husen?” Tanya pak supir yang kebetulan sedang berhenti di lampu merah

Beberapa penumpang turun seketika termasuk pria paruh baya di depanku. Lokasi ini memang seringkali jadi tempat orang berganti angkutan karena mulai mengerucut.

Sejenak menuju penghujung hari. Perempuan di sebelahku yang baru saja naik dari komplek tadi sedang asyik memainkan kabel yang menjuntai di depan wajahnya. Sesekali kucuri pandang wajah yang lembut diterpa warna matahari sore. Hangat.

Kendaraan mulai berkurang. Jalanan kembali lengang. Sayup-sayup suara dari kejauhan hanya lantunan tilawah ataupun pepujian menjelang maghrib. Jane Doe ini sedang menikmati alunan nada yang mengalun di kedua telinganya. Kali ini tangan kanan menopang dagu lancipnya, sedangkan tangan kiri memegang erat ponsel.

Ujung sepatunya menghentak sesekali membuat irama yang rasanya aku kenal. Tersungging sebuah senyum di wajahnya kali ini. Senyuman yang mewakili suasana hati serta alunan indah di dunianya.

“Em… Anu, Father & Mother juga ya mbaknya?” tanyaku yang tanpa pikir panjang.

“Lho?! Tau Misuchiru juga?!” jawabnya dengan wajah kaget mendengar pertanyaanku.

“Hehe. Itu aku lihat layar ponsel mbak.”

Mr. Children – 365 Nichi
Sense

Tulisan itu tertera di layar ponselnya dengan gambar ekor paus dan semburan air. Aku tahu betul album itu milik siapa. Pantas hentakan itu aku kenal.

“Aku pikir ga bakal nemu Father & Mother di kota kayak gini,” ada gelak tawa di ujung kalimatnya.

“Mungkin yang saat ini ketemu cuma aku aja, Mbak. Sebenernya banyak juga yang suka sama Misuchiru. Sayangnya belum pernah ada kopdar kayak Cielers.”

“Hemh. Iya sih. Misuchiru emang minor kalo di Indonesia. Soalnya pas doi debut album, itu lagu-lagu Jepang belum nyampe sini.”

Kami berdua tertawa mengingat fakta bahwa Misuchiru itu udah pada sepuh dan belum kejamanan buat bisa sampai Indonesia. Alhasil mereka disalip beken sama Laruku atau Gackt. Tapi bagi kami yang pernah mendengar satu single Misuchiru dan mengikuti perkembangannya sampai sekarang, menganggap bahwa mereka sebenar-benarnya J-Pop.

“Oh iya! Panggil aja Hana.”

Kusambut tangannya sambil memperkenalkan diri, “Arai.”

Wajahnya heran dengan nama yang kuberikan. Aku memakluminya karena reaksi setiap orang sama dengannya.

“Jadi? Kenapa bisa sampai suka banget sama Misuchiru? Terus dari kapan?” pertanyaannya serasa senapan mesin menghujam badanku.

“Gara-gara Tomorrow Never Knows!” jawabku cepat .

“Wah berarti udah lama banget dong kenal sama Misuchiru? Aku sih gak selama itu taunya. Hanabi yang bikin aku nyari tau soal Misuchiru. Hasilnya ya ini,” pandangannya mengarah ke ponsel yang playlistnya dipenuhi Misuchiru.

“Keren! Aku aja ga semuanya punya.”

“Hehehe. Aku lagi beruntung aja. So? Apa yang bikin Tomorrow Never Knows berkesan?” tanyanya hati-hati.

Berpikir sejenak mengumpulkan kata-kata menjadi alasan sambil kulipat tangan di dada.

“Serius amat, Rai?”

“Hemh. Lagu itu aku denger gak sengaja pas mau masuk kelas 3 SMA. Kan bingung tuh! Udah mesti punya cita-cita yang beneran bisa bikin kita jadi apa nantinya.”

Wajahnya berubah serius ketika mendengar penjelasanku.

“Lalu? Lalu? Liriknya kan bukan itu sebenernya?” dia mulai meragukan kapasitasku.

“Iya. Bagian soal cita-cita emang dikit. Tapi, kamu tau ga sih kalo Misuchiru itu pinter banget buat bikin komposisi dan mainin tone sampe emosinya kerasa banget kalo lagu itu bener-bener haru? Bahkan kita yang tau Misuchiru bakal tau lagu itu sedih, seneng, marah atau kecewa cuma karena aransemennya. Yak an?”
Hana cuma mengangguk pelan pertanda setuju. Wajahnya mulai menganalisa dan bertanya ada apa dengan kelas 3 SMA milikku.

“Lagu itu aku denger gak sengaja pas pindahin stasiun radio. Berharap Laruku, aku malah dapet lagu yang aku buta sama sekali. Karena enak, akhirnya aku dengerin sampe tuntas dan dengerin reviewnya dari si penyiar. Begitu tau judulnya Tomorrow Never Knows, aku langsung telpon kakak kelasku yang freak abis sama Jepang buat kirimin mp3nya via e-mail. Pas dapet konfirmasi kalo lagunya udah dikirim, aku puter semalam suntuk sampai aku bener-bener tidur karena lagu itu.”

Kulihat perhentianku kian dekat. Aku sedikit bergegas untuk siap turun. Hana nampaknya tahu kalau aku harus turun. Aku kaget. Dia pun bergegas merapikan tas dan jaket denimnya. Gerak-geriknya meyakinkanku kalau dia masih ingin mengetahui apa yang ada dalam pikiranku soal Misuchiru. Maka aku putuskan untuk berhenti di Pura, lokasi paling ujung untuk berhenti dan melanjutkan ceritaku.

“Penasaran ya? Intinya gini. Tomorrow Never Knows yang aku dengerin sepanjang malam sampai aku pindahkan ke Motorola ROKR E1 itu bikin aku mikir berat dan serius. Hari ini aku kelas 3 SMA, IPA. Lalu apa yang bakal aku perjuangkan buat selulus SMA? Apa sebenernya cita-citaku? Aku cuma bisa bilang dalam hati kalo Allah sudah persiapkan rencana yang teramat sangat matang dan pas buatku. Sesempurna apa pun rencana milikku. I’m a part of God’s plan. Aku takkan pernah tau esok bakal seperti apa. Apakah itu sesuai atau tidak. Tapi aku memilih untuk let it flow dengan rencana-Nya.”

Kuteguk sisa air di tumblerku. Capek rasanya mesti bercerita panjang di angkutan umum. Tapi perempuanku di sebelahku ini semakin berbinar-binar. Dia seperti menemukan sebuah mutiara paling indah di dasar lautan. Bibirnya merekah mengukir senyum memoles wajah yang dijatuhi remang-remang lampu jalanan.

Obrolan kami berlanjut sampai dia bercerita tentang kenapa akhirnya sampai jatuh hati pada Sakurai dkk. Hanabi yang dia dengarkan pertama kali memang diikuti dengan menonton Code Blue. Bagaimana dia begitu menghargai orang lain setelah menonton dorama tersebut. Baginya, kutipan Aizawa yang mengatakan kalau dalam dunia kedokteran tidak ada keajaiban adalah paling berkesan.

Ibunya yang direnggut kanker membuatnya sempat membenci mereka yang berprofesi dokter. Kekeraskepalaannya itu pernah berujung opname karena tifus. Setelah sembuh pun dia tak pernah mau mengakui betapa dokter berusaha sekuat tenaga untuk bisa mengembalikannya ke kondisi semula.
Code Blue juga Misuchiru kini telah mengubah pribadinya yang keras menjadi lebih terbuka. Alunan lagu 365 nichi, Hanabi serta Kimi ga Ita Natsu adalah favorit dalam playlistnya. Hana, perempuan yang baru aku kenal dua puluh menit lalu ini ternyata punya ikatan kuat tentang Misuchiru. Usianya yang lebih muda dariku membuatnya memanggil akang.

“Kakang, Hana duluan ya! Nanti Hana kontak via email. Seneng deh punya temen ngobrolin Misuchiru juga dorama. Salamu’alaikum”

Kalimat itu mengakhiri perjumpaan dan dialog kami sore tadi. Hanya dua puluh menit tapi sangat berarti. Perjalananku yang tanpa arah tadi ternyata mengarah pada hal yang indah. Baagaimana dunia dan seisinya berputar. Bagaimana Tuhan Maha Kuasa atas bumi dan seisinya. Betapa indahnya rencana Tuhan mempertemukan dua orang asing karena lagu.

Ah tak ada yang lebih berharga sebuah obrolan penuh makna. Ponsel kunyalakan, kubuka aplikasi whatsapp. Kujelajahi daftar nama hingga berhenti.

sehat kan? 20:29
tibatiba inget uwin 20:29
J 20:29
gara2nya gak sengaja lihat orang di angkot pake headphone, pas lihat playlistnya Mr. Children 20:30
inget setaun lalu uwinnya diracunin Mr Children 20:30
[SENT]

Hari ini aku bahagia, rinduku pada beberapa orang membuncah seketika setelah pertemuanku dengan Hana. Tuhan, terima kasih atas rindu yang kau berikan untukku pada tiap orang. 

15 comments:

  1. dimana-mana bisa ngomong kayak gini :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah. itu mah kebiasaan banyak omong aja. :|

      Delete
    2. Abangnya adek keren lah...
      Kangen jugaaaaaaa! #malahikutancurcol

      Delete
  2. aku udah baca. dan seperti biasanya, kalo udah baca blog punya orang dan isinya keren aku pasti merasa aku ini ngga ada apa2nya bang. blogku dengan blog kalian jauuuuuuuhhh kualitasnya. hadeeuuuhh. hehehe
    maap jadinya malah curcol bang :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. punyaku yang ini juga susah payah euy buat balikin bahasanya. :|
      butuh beberapa jam, eh semalaman. #curcol

      Delete
  3. ---

    ::: Tiga tegukan air mineral dari tumblerku ini meluncur deras seperti seorang anak main perosotan di Atlantis.
    --- Aku selalu suka bentuk perumpamaan yang seperti ini. Biasanya jika itu benda mati, dijadikan makhluk sebagai perumpamaan yang bisa mendramatisir suasana atau arti kata sifat itu sendiri. Yaitu : segar. ^^

    ::: Ragam polusi kini jadi hal lumrah. Teduh sudah jadi barang langka yang dicari tiap orang.:::
    --- Agak timpang dengan barisan paragraph sebelumnya yang sempat klimaks oleh perumpamaan yang dramatis, kalimat ini jadi seperti antiklimaks yang lebih menjadikan denotasi sebagai deskripsi tambahan.

    ::: … sesekali menyerangku dengan kalimat bernada cemburu. Aku hanya tertawa renyah … :::
    --- sebuah ciri yang sepertinya menempel pada karakter penulis yang terlalu sederhana menyikapi serangan dan tanda tanya dari orang sekitar. Hehe…

    ::: Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Alih-alih mendapat udara segar, beberapa motor melaju cepat dengan knalpot melambaikan asap … :::
    --- Hahaha, kalimat ini bisa dibayangkan efek kesal yang bertumbuhnya. Dimulai dari tanda tanya tentang kepulan rokok yang seperti apa yang agresif, tapi seperti terklimakskan oleh knalpot yang pasti lebih keji lagi yah.

    ::: “Ma… Bauuuuu…” adik kecil ujung kanan merengek … :::
    --- ini melambangkan keluguan yang sederhana dan apa adanya kanak-kanak. Tapi kalimat ini rasanya lebih menarik jika tidak dilanjutkan tindakannya menghirup udara. Bagaimanapun, lugu selalu terpotong tanpa alasan dan maksud khusus.

    ::: “Duh, dimana tadi aku taruh barang itu?” :::
    --- sebuah sikap dan gesture yang menggambarkan sisi maskulinitas, ceroboh lalu kesal. Sebuah cara bergumam dalam hati yang bisa ditambahkan dengan memancing reaksi penumpang duduk di sebelah-sebelahnya. ^^

    ::: Kesan wibawa padanya :::
    --- pemilihan kata-kata ini sepertinya menjadi penutup kalimat yang sudah melembut dan melunak. Untuk memberi jeda berikutnya agar aku yang membaca, bisa sejenak menelaah cara pandang sosok “aku” pada detil individu di dekatnya.

    ::: Kami semua bernafas lega seolah selesai menonton film dengan adegan menegangkan :::
    --- Keduanya adalah perasaan yang sama dan setara. Lega dan melepas ketegangan. Tapi agaknya masih jadi kalimat yang tanggung untuk dicerna sebagai perumpamaan yang sama. Karena bersifat lebih pada narasi sebab akibat daripada dua perumpamaan.

    ::: Ini senja! :::
    --- tidak banyak yang penulis deskripsikan tentang senja di sini. Tapi caranya merangkum warna keemasan yang merambat dari jam tangan sang pria, bisa jadi gagasan yang memperkaya penginderaan bahwa senja bisa digambarkan dari pantulan sikap dan bahasa tubuh sekeliling. Brilian

    ReplyDelete
  4. ah. akhirnya setelah lama menanti ada juga ulasan dari wiedesignarch. :D
    menyenangkan rasanya bisa mendapati akun wiedesignarch di laman ini. :D

    ReplyDelete
  5. Tau nggak mang? Nisa suka banget sama sesuatu yang berbau-bau analogi.. daaaaan I love rhymes! Nisa suka banget nulis gagasan bahkan hal remeh temen sekalipun dengan rima. It's kinda fun to stop and think in every phrase we made cuma untuk menimbang-nimbang diksi yang tepat untuk mengakhiri frase-frase yang dibuat. Hahaa, jiwa melayu mungkin. Tapi, coba aja, sesuatu yang berrima akan lebih menyenangkan dan gampang diterima untuk dibaca berulang (ini juga mungkin alasannya kenapa bisa ada manusia yang menghapal quran yang tebelnya ga main-main sepersis-persis aslinya tapi nggak ada yang mau repot-repot menghapal jurnal ilmiah tipis tanpa ada salah satu kata pun, karena apaaa? *nyodorin mic* quran is full of rhyme, meaningful yet still beautiful, Tuhan kita memang sehebat-hebatnya pujangga ya). Nah, nah, baca tulisan mamang ini, di awal-awal aja Nisa udah disuguhin analogi dan kalimat-kalimat berrima, bikin tambah betah bacanya, hohoo. Selain itu, Nisa suka kemampuan mamang mengubah sesuatu sesederhana makan bandros pagi hari atau obrolan tanpa sengaja sore hari menjadi hal bermakna penentram hati, seolah-olah ngajak yang baca meresapi lagi hal-hal yang dia lalui yang luput dia syukuri. Hehee :3 Lanjutkanlah berkarya mang! :3 Kalo sukses yaaa.. inget-inget lah ya sama ponakan :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. nisa! ponakanku sayang!
      terima kasih sudah mampir dimari! :)
      makasih buat apresiasinya ya. :D
      insyaallah gak bakal lupa sama nisa mah. ;)

      Delete
    2. hihihihi....
      nisa pasti tak akan dilupakan...
      mana ada paman yang lupa sama keponakannya yang serba bisa... ^__^d..
      #nimbrung

      Delete
    3. sebenernya gampang aja sih ngelupain nisa mah, tinggal delet nomer hape beserta semua keangkuhannya tentang kecantikan serta kelangsingan :D

      Delete
    4. hihihihi... jangan atuh.... kesian ih...
      lagian kan Nisa bakal jadi guru masak dan merajut.. hihihi

      Delete
  6. raaaiii baca2 postingmu yg lalu
    maap yak suka telat mampir

    ReplyDelete
    Replies
    1. tak apa kak ninda. ;)
      seneng kok dapet apresiasi dari kak ninda, dan makin produktif nampaknya :D

      Delete
    2. ih... sudah lama juga lho aku gak jenguk blog teh Nina... ^___^ mau ah mampir sekarang ^^d

      Delete